Jumat, 21 Februari 2014

Nonton Bioskup



Barang siapa punya hobby nonton film, pasti tahu jawaban teka teki
seputar Super Hero dibawah ini:
1.
“Kenapa Superman pakai kain (kain yang untuk terbang) dibelakang?”
2.
“Siapa tokoh Super Hero yang super gokit (gak punya malu)?”
3.
“Kenapa Robin pakai topeng?”


Bicara soal nonton film. Al kisah dari keluarga trah Sastroatmajan, tak ada yang bisa ngalahin mbak Nanan, adik mbak Nunun, putri ke 4, alias putri bungsu bude Wir, yang punya hobby nonton. Kegemarannya itu diawali dari tututan. Ia harus banyak memperkaya wawasan dunia entertainment karena ia sering mengikuti segala macam kontes ratu kecantikan. Dan hasilnya, bisa dilihat dari trophy dan piala yang ia peroleh, banyaknya satu lemari besar penuh. Setelah mantan, eh hobby nonoton masih keterusan. Tetapi trendnya beralih, sekarang paling senang nonton film keras, semua jenis action, cowboy, mafia dan tak ketinggalan horor.
Mas John, suami mbak Nanan, juga hobby berat nonton film. Nggak punya trend, film jenis apa saja suka. Itu bisa dibuktikan, di gudang ada sebuah lemari besar isinya penuh kepingan VCD, DVD dan lain media film dari segala macam jenis ceritera film. Mbak Nanan punya hobby nonton film, Mas John punya kegemaran nonton film, wah udah klop, bagai ungkapan tumbu oleh tutup. Benarkah? Simak ceritera dibawah:
Suatu malam mbak Nanan dan mas John nonton film di gedung studio 21. Thema Film, berceritera tentang geng Mafia.

Dipertengahan pertunjukan, di layar sedang menayangkan adegan seru, satu regu Mafia sedang gencar menembaki seorang anggotanya yang membelot dan berkhianat. Suara tembakan bercampur musik latar, menggedor-gedor dinding bak mau meruntuhkan atap gedung bioskop. Musuh yang ditembaki lari, berhasil lolos, loncat kedalam parit lalu bersembunyi dibawah jembatan kecil. Sesaat kemudian di layar terlihat regu Mafia sweeping, berjalan perlahan-lahan menyisir jalan, mencari musuhnya. Suara tembakan dan sound track berhenti.
Suasana gedung menjadi senyap, menambah tegang penonton. Mbak Nanan juga ikut tegang, sambil menahan nafas menunggu kejutan (biasanya jika film ada adegan semacam itu, lalu mendadak muncul, gambar atau terdengar suara yang mengejutkan pen
onton). Kejutan yang ditunggu tidak kunjung datang, tetapi tiba-tiba mbak Nanan mendengar suara orang mendengkur (ngorok) keras lagi. Mbak Nanan yang semula tegang, menjadi heran, suara dengkuran itu bukan dari layar bioskup malahan seperti didekat-dekat tempat duduknya. Mbak Nanan penasaran. Ia mengambil HP, dinyalakan, lalu mencari, dari mana suara ngorok itu. Ketika HP nya melintas tepat didepan wajah mas John, mbak Nanan terperangah.

“Hah! suamiku? Nggak salah? film, lagi seru-serunya suara tembakan keras kok bisa tidur.”
Mbak Nanan penasaran, lewat HP wajah mas John yang sedang ngorok di close up, foto di up load lewat BBM. Dan hanya bilangan menit, berita bertajuk “ Suamiku kalau nonton bioskop tidur,” tersebar di jejaring sosial, komunitas trah Sastroatmajan.
Geger, banyak yang nggak percaya, lalu kasak kusuk mencari kebenarannya.

Selidik punya selidik, memang benar mas John punya hobby nonton film, namun itu sebagai bentuk transformasi.

Profesi mas John adalah pengacara, meskipun masih muda umurnya, tapi dikalanagan profesi ia sudah dianggap senior. Malahan ditunjuk menjadi ketua asosiasi Penacara Semarang. Maka tak heran, aktivitasnya sibuk, pekerjaanya numpuk. Masalah di kantor, atau di Pengadilan, kadang masih terbawa hingga rumah, mengakibatkan sulit tidur. Salah satu cara untuk menghilangkan makalah yang berada diotaknya, dengan cara mengalihkan perhatian. Salah satu cara yang cepat ialah nonton film. Nah sialnya, ketika nonton film baru setengah jalan, otaknya sudah cair, persoalan yang rumit ikut larut, pikiran jadi tenang, giliran mata yang nggak kuat menahan kantuk, jangankan suara tembakan dari film, ada bom teroris meledak didekatnya pun tidak menggoyah kan ngoroknya.

(Testomoni dari mas Jhon).


“Kenapa Superma pakai kain dibelakang?”
Jawab: Jika pakai kain didepan dikira mau cukur.
“Siapa tokoh Super Hero yang super gokil?”
Jawab: Batman. kemana aja cuma pakai celana dalam.
“Kenapa Robin pakai topeng?”
Jawab: Robin teman Batman, malu, punya teman super gokil.

Kamis, 20 Februari 2014

Gaya Glenn Fredly



Dengarkan tembang lawas judulnya ‘Pergi untuk kembali’ Tetapi penyanyinya anyar bernama Glenn Fredly. “Ku akan pergi, meninggalkan dirimu, menyusuri liku hidupku. Janganlah kau bimbang dan janganlah kau ragu ...bla-bla, masuk reffren.

“Selamat tinggal kasih, sampai kita jumpa lagi, aku pergi tak kan lama. Hanya sekejap saja ku akan kembali lagi, asalkan kau tetap menanti.”
Selain suaranya melantun mendut mentul, yang mengesankan ketika Glann menyanyikan lagu itu, mulutnya dekat sekali dengan mik, bahkan miknya dikulum-kulum, seperti sedang nglamuti ice cream.
Al kisah mbak Nunun, putri ke 3 Bude Wir, adik mbak Nin
ok, dibelikan satu unit karaoke, oleh mas Kris, sang suami tercinta. Mas Kris tau hobby mbak Nunun karaokean, dari pada mbak Nunun sering pergi ke tempat karaoke, makanya dibelikan seperangkat karaoke yang terbaru dan tercanggih.
“Dah situ, silahkan karaokean sak jebole,”begitu kira-kira kata mas Kris.
Malam hari, mbak Nunun pamer menyanyi didepan mas Kris.
“Sayang, menyanyinya diatas keset aja,” nasehat mas Kris.
“Ah diatas lantai aja, kalau diatas keset ndak bisa
dance on the moon,” kata mbak Nunun sambil meperagakan tarian plesetan gaya Jecko.
“Ya sudah, terserah,” kata mas Kris dengan sabarnya Mbak Nunun mulai menyanyi. Memang tidak boleh dipungkiri suara mbak Nunun termasuk merdu, lagu pertama berhasil dilantunkan dengan manisnya. Dan mas Kris memberi aplus.
Lagu kedua, judulnya ‘Pergi untuk kembali.’ Mbak Nunun terinspirasi gaya Glenn, makanya ketika nyanyian sampai reffren, miknya dikulum-kulum bak nglamuti ice cream.
Tiba-tiba mbak Nunun teriak histeris.
“Aaah, Aaah, Aaah!” Suara jeritnya diantara sela-sela mik yang masih nempel dimulutnya.
Mas Kris kaget, dengan gesitnya, mik di tamplek hingga terpental dari mulut mbak Nunun.
Lha kenapa miknya nempel dimulut?
Nggak taunya, mbak Nunun baru pasang bekel, itu lho kawat yang dipasang di gigi, biar konstruksi giginya nggak mrongos. Ketika mik beradu dengan kawat bekel, kecanthol terus nyetrum. Untung mas Kris bekas juara karate, ketika nampar mik, tepat sasaran, hingga mik terlempar. Coba kalau bukan Karateka tamparanya mungkin meleset, lalu kena pipi, dan wajah mbak Nunun bisa berubah menjadi amburadul, pipinya perot, giginya monyong, bibirnya jontor (kalau nggak heboh bukan Nunun namanya. Sudah dikasi tau nyanyianya diatas keset maksudnya biar nggak nyetrum, eh malah ngeyel).


Cowgirl

Kisah kecelakaan (mulut) mbak Nunun, diceriterakan oleh mbak Ninuk, sekaligus menceriterakan kecelakaan (mobil) yang ini kecelakaan beneran yang dialami mereka berdua.
Mbak Ninuk itu kakaknya mbak Nunun, putri kedua keluarga Wiryono ini badannya paling imut, tapi profesinya paling perkasa ketimbang saudaranya yang lain.
Kebayang nggak, ia pernah menjadi Cowgirl menunggang kuda beneran, bukan kuda lumping atau kuda odong-odong. Pensiun jadi Cowgirl lantaran tangannya digigit kuda. Sakit sih enggak, lha wong ia sekaligus jadi pawang kuda, tapi efek gigitan itu mendatangkan penyakit gampang tidur, bahkan ketika sedang mengemudi mobil saja bisa tidur, nah akibatnya fatal, truk nggak punya salah apa-apa dihajar dari belakang. Walapun mobilnya ringsek tapi Alhamdulliah mbak Ninuk dan mbak Nunun selamat.
Habis tabrakan itu mbak Ninuk nggak boleh lagi jadi cowgirl oleh mas Aryo dan mbak Nunun Bekelnya disuruh lepas sama mas Kris.

Rabu, 19 Februari 2014

Bali natural



Suami bu Ning, namanya Cokorde Rake panggilan populernya dalam keluarga Oom Rake. Setelah pensiun, Oom Rake pilih pulang kandang, berdomisili di Denpasar, Bali. Beruntung dua putranya setelah lulus kuliah bisa kerja di Denpasar, mas Agung kerja di BUMN sedang mas Wisnu kerja di Bank Pemerintah. Diantara dua anak itu yang paling heboh dan super PD adalah mas Wisnu.
Suatu hari, kantor mas Wisnu kedatangan calon Investor kelas kakap dari Jerman. Direksi mendelagasikan jajaran Manage
men untuk menjamu dan memberi service kepada tamunya. Akan tetapi, 5 Manager termasuk mas Wisnu kelihatannya belum siap, maka mereka saling lempar tugas, hingga akhirnya pak Direktur menunjuk langsung pada mas Wisnu.
“Pak Wisnu, Anda bisa melakukan tugas itu, kan?” kata pak Direktur sopan tapi
jelas menekan.
“Si..sii...siiap pak,” jawab mas Wisnu, tapi dalam hati “Si..sii.. siialan, i
nyong maning, inyong maning. Kepriben bapake kiye. Tembelek bebek dilotek-lotek tuli sih mlethek dewek.
Meskipun mas Wisnu dikatakan putra Bali, tapi lahirnya di Australi, masa kecil dihabiskan di Cilacap, baru setelah kuliah pindah ke Semarang, makanya jangan heran jika ia sering kelepasan
ngomong pakai bahasa induknya, bahasa Banyumas.
Esok harinya. “Sir, silahkan, mau pergi kemana? Tampak Siring, Bedugul, Trunyam, Kute, Sanur? Saya siap antar,” Mas Wisanu membuka tawaran pada tamunya.
“Oh tidak, tidak. Obyek wisata itu sudah sering saya kunjungi, dan kini obyek itu sudah tersentuh peradaban modern. Saya ingin obyek Bali yang benar-benar natural,” kata
tamunya.
Obyek Bali natural? Apa ya?” gumam mas Wisnu sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Bingung, krena ia memang baru beberapa tahun tinggal di Bali, jadi ya wawasan Balinya belum lengkap. “Apa obyek semacam pura, candi apa peninggalan pra sejarah?” Tanya mas Wisanu.
“Oh tidak, tidak. Tigapuluh tahun lalu, saya pertama kali ke Bali. Saya masih menyaksikan wanita-wanita mencuci baju dan mandi di sungai sambil telanjang dada. Itulah Bali natural.”
“Waduh, sekarang kayaknya di Bali tidak ada lagi wanita yang mandi di kali,” gumam mas Wisnu. “Sebenatar Sir, saya cari info,” kata mas Wisnu, lalu telpon temannya yang asli Bali.
“Wayan, kamu tau? Dimana masih ada wanita mandi di kali?” Tanya mas Wisnu lewat HP.
“Coba kamu pergi dari Denpasar kearah Ubud. Nanti kamu ketemu kali besar, tebing dinding kali curam. Sebelum jembatan, disebelah kanan jalan ada restoran. Mapirlah kesitu, pilih duduk di teras samping, yang pemandanganya menghadap ke sungai. Biasanya selagi ada tamu restoran, makan-makan dan minum, wanita-wanita penduduk diseberang kali turun tebing, lalu mandi dan cuci baju sambil telanjang dada, menjadi suguhan yang atraktif,” jawab Wayan.
Dengan bekal info itu, esok harinya mas Wisnu mengajak tamunya menuju restoran yang dimaksud Wayan. Tak lama kemudian mas Wisnu dan tamunya sudah duduk di teras restoran, yang mengahadap kearah sungai. Sebenarnya tanpa wanita mandi, sepanjang bentangan sungai disekitar restoran pun termasuk indah panoramanya, membuat tamu betah duduk berlama-lama.
“Disana Sir, biasanya wanita penduduk seberang kali itu turun mencuci dan mandi di kali,” kata mas Wisnu sambil menunjuk dasar sungai. Meskipun kurang yakin, tetapi tetap PD.
“Sambil telanjang dada?” Tanya sang Bule.
“Betul, itulah Bali natural,” mas Wisnu
mantab.
Tunggu dan tunggu lagi, hingga sore menjelang senja, tak ada sesorang pun mandi di kali.
“Bagai mana itu? kenapa tak ada wanita mandi?” tanya sang Bule.
“Mungkin cuaca mendung, jadi mereka memilih mencuci dan mandi dirumah masing-masing,” kilah mas Wisnu.
Dengan harapan hampa mereka pulang ke Denpasar. Malam harinya mas Wisnu penasaran, telopon Wayan.
“Wayan kamu bohong. Aku tungguin dari bedug lohor hingga maghrib, nggak ada wanita turun ke kali.”
“Ah masya iya sih?” jawab Wayan lewat Hp-nya.
“Bener, sampai aku malu sama tamuku.”
“Direstoran itu kamu makan dan minum apa?” tanya Wayan.
“Nggak makan, cuma minum-minum, kopi dan minuman ringan.”
“Habis berapa?”
“Sialan, cuma minum kopi sama softdrink saja habis 60 ribu.”
Tiba-tiba Wayan tertawa terkekeh, kekeh.
“Hallo! Hallo! Wayan, Wayan, kamu ngapiin?” mas Wisnu bingung.
“60 ribu saja kamu sesali, bayarnya pakai rupiah lagi. Bayar pakai dolar dong. Kalau kamu makan minum hingga habis minimal 50 dolar, baru ada wanita-wanita turun ke kali, mandi cuci dan melakukan aktivitas lain, sambil telanjang dada,” kata Wayan.
“Lho kok?” mas Wisnu heran.
“Tau nggak? Sebenarnya wanita-wanita yang turun ke kali itu karyawan dan orang-orang yang diupah, melakukan pertujukan ala Bali natural. Jika ada tamu belanja banyak, diam-diam pemilik restoran telpon ke seberang kali, dan pertunjukan Bali natural pun diperagakan.”
“Sialan, itu namanya pertunjukan striptease,” kata mas Wisnu sambil memantikan HP.




Nasi Bali.

Ini ceriteranya Dikcik, putra ke 3 keluarga pak Pangkat. Saat itu bulik Utiek buka kantin baru, di gedung EX jln Thamrin, Jakarta. Karena kurang tenaga, Dikcik diminta tolong jaga kantin. “Berani Cik, tunggu kantin?” Tanya bulik Utiek.
“Siapa takut,” jawabnya penuh PD.
Di Kantin itu, menu yang disajikan nasi racik, diantarnya nasi rames, nasi Bali, nasi langgi, nasi bakar, nasi timbel dll.
Saat makan siang tiba, datang salah satu orang mau membeli.
“Tumben, hari Sabtu kantin buka, biasanya tutup. Mas itu nasi apa?” Tanya orang itu sambil menunjuk nasi Bali.
“Oh
, ini nasi Bali. Enak pak, mau cobain?” Dikcik pasang strategi marketing, mantab.
“Asli nasi Bali?” Tanya orang itu kurang yakin.
“Asli. Kalau di Bali, dinamakan nasi Jenggo.” Dikcik promosi.
“Kenapa dinamakan nasi Jenggo?”
“Lihat bungkusnya ini, seperti topi Cowboy, makanya dinamakan nasi Jenggo.”
Memang nasi Bali itu dibungkus dengan daun pisang, pinggir pembungkus kiri dan kananya melebar, jika direka-reka seperti bentuk topi khas cowboy.
Tiba-tiba orang itu tertawa.
“Kenapa pak?” Tanya Dikcik heran.
“Salah mas. Nasi Bali ini memang benar dinamakan nasi Jenggo, tapi bukan karena bungkusnya seperti topi cowboy. Di Bali, nasi bungkus ini harganya paling murah. Di jual dimana-mana. Tetapi, kebanyakan yang membeli bangsa Jeger, tukang palak, preman dan orang reseh seperti itu
. Umumnya orang-orang itu senang miras. Kalau sedang mabok lagaknya seperti cowboy maka mereka dinamakan Jenggo. Karena kebanyakan yang membeli nasi itu, Jenggo, seterusnya disebutnya nasi Jenggo.”
“Lho kok Bapak tau?” Tanya Dikcik heran.
“Lha kan saya orang Bali
asli.”
Dikcik cuma nyengir, coba kalau Dikcik jeli, dari pertama orang itu ngomong saja sudah bisa ditebak kalau ia orang Bali, Thumben hari Sabthu kanthin buka, biasanya thuthup. Ithu nasi apa?

Kamis, 13 Februari 2014

Joko sembung naik Ojek



Pakde Wir, suami bude Wir, nama lengkapnya Gunadi Wiryono, akhirnya nyusul ke Swis, untuk ikut merayakan HUT mbah Putri. Siapa pun anggota keluarga trah Sastroatmajan mengenal pakde Wir, Sosok yang berwibawa, yang dihormati semua orang sekaligus menjadi panutan, inspirasi dan motivasi belajar, mengejar cita-cita setinggi langit dan semangat bekerja.

Maka tak heran prosentase besar anggota keluarga trah Sastroatmodjo telah menyelesaikan jenjang keserjanaan, dan bekerja pada tingkatan menengah keatas.

Penampilan pakde Wir, terkesan selalu formil, tak ada yang berani mengajak bercanda. Kecuali pakde Wir yang memulai, itu pun hanya sepatah dua patah kata. Karakter pakde Wir, mungkin terbawa oleh kariernya. Mantan, Lektor Perguruan Tinggi se Jateng, Rektor Untag, Atase Kebudayaan di Australi selama lebih dari 15 tahun, diteruskan menjabat Direktur Utama salah satu Kawasan Industri. Maka busana yang dikenakan tak lepas dari jas, dasi, safari dan seragam resmi lainnya. Akan tetapi, ketika sampai di Bern, setelah bergabung dengan Bude Wir, Bude Warso, Bu Ning dan Pak Pangkat, segala atribut kebesaran pakde Wir, dibuang, jadilah beliau, anggota rombongan orang tua imut-imut, yang lucu-lucu tingkah dan gayanya.

Pernah suatu hari, rombongan itu mengikuti bu Tien belanja keperluan masak menu Indonesia, seperti beras, ikan asin, cabe dan lain-lain bahan mentah. Yang menyediakan bahan semacam itu hanya ada satu toko China yang berada diperbatasan Perancis. Mungkin pemiliknya sudah menjadi Warga Negara Perancis, karena di Swiss, orang China dilarang berdagang.

Selesai belanja. ketika mau pulang pakde Wir nggak ada, setelah dicari sekitar Toko, eh nggak taunya sedang ngobrol dengan pemilik toko. Mungkin tidak aneh melihat pakde Wir ngobrol dengan orang. Tetapi kali itu menjadi aneh, sebab pakde Wir ngomongnya pakai bahasa Jawa, lawan bicaranya pakai bahasa Jerman, bahasa pengatar Swiss. Kelihatan gayeng (akrab, diselingi ketawa-ketawa). Setelah rombongan datang mengajak pulang, pakde Wir pamitan.

Wis yo koh, aku mulih disik,” kata pakde Wir, sambil melambaikan tangan.

China itu juga melambaikan tangan sambil ngomong pakai bahasa Jerman.

Setelah di mobil, dalam perjalanan pulang.

“Bapak ngendikan apa sama China, tadi,” tanya bude Wir pada pakde Wir.

“Ya iseng saja,” kata pakde Wir.

“Lha tadi pakde Wir kan bicara pakai boso Jowo. Apa China itu tadi ngerti?” tanya bu Ning.

“Lha itu serunya. Ia tidak tau bahasa Jawa, aku juga nggak ngerti bahasanya. Lha tetapi waktu aku ngomong, dia njawab, dia ngomong ya aku jawab, ya sudah jadi ngobrol,” kata pakde Wir.

(Joko Sembung naik ojek, ya nggak nyambung Jeck).



Salah tafsir


Kali ini ceriteranya rombongan orang tua imut-imut plus (maksudnya bude Warso, bude Wir, bu Ning dan Pak Pangkat plus pakde Wir) piknik ke Euro Park, tempat rekreasi seperti Dufan (Dunia Fantasi), Ancol, Jakarta.

Ketika masuk Europark ya mereka tidak asing lagi, karena mereka sudah sering masuk Dufan. Hanya bedanya, ketika masuk Dufan, mereka sebagai orang tua, yang momong anak-anak rekreasi, jadi yang naik segala macam wahana mainan ya anak-anak saja sedangkan orang tua hanya nungguin, di bawah atau malah ditunggu di restoran.

Nah sekarang di Europark orang tua itu sendiri yang sedang rekreasi, oleh karena itu pakde Wir, mengajak ikrar bersama, kalau satu naik sebuah wahana, semua harus ikut.

Jika melihat macam-macam wahana mainan ditempat rekrasi seperti itu, mereka tidak asing, tetapi jujur saja, mereka belum pernah naik, jadi ya seru, lucu dan kadang salah tingkah, ya ada takutnya. maka nggak malu-malu menjerit histeris, ketawa lepas, pokoknya heboh.

Semua berubah menjadi anak-anak, sumua wahan dinaiki, seperti bianglala, ada komidi kuda puter, kereta gantung, monorel, jetcouster. Bahkan mereka nekat meneruskan petualangan walaupun badan sudah basah karena naik rakit jeram riam.

Rakit itu bentuknya seperti ban dalam mobil, ukuran besar, muat untuk satu rombongan. Semula mereka mengira mau naik rakit yang dibawa arus air tenang, makanya sebelum naik masing-masing membawa bekal satu pak kentang goreng dan satu gelas plastik cocacola. Memang awalnya rakit itu hanyut di air tenang, makanya mereka masih bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, ketika mereka mulai mau makan, sepotong kentang baru sampai depan mulut, tiba-tiba rakit oleng, seperti membentur batu, kentang tidak masuk mulut, meleset ada yang kena hidung, ada yang kena pipi, mereka tertawa tergelak-gelak. Namun ketawa mereka tiba-tiba berhenti, berubah menjadi jeritan-jeritan, setelah kejutan berikutnya. Rakit masuk arus deras, maka oleng rakit tak terkendali, mereka goyang kemana-mana, kentang goreng berhamburan keluar dari tempatnya, cocacola muncrat-muncrat. Tidak hanya itu, karena muatan terombang-ambing menambah goyangan yang kuat, akibatnya rakit tambah kencang olengnya, hingga air sungai memercik masuk kedalam rakit, tak hayal, baju pun menjadi basah.

Adalah bude Warso, ya pertama-tama tobat. “Udah-udah aku nggak ikut-ikutan lagi, aku sakit jantung,” teriaknya setelah turun dari rakit.

“Satu lagi, naik itu setelah itu sudahan,” kata pakde Wir sambil menunjuk sebuah wahana.

“Hah! nggak salah? Engak mau, enggak mau, ntar tambah basah,” hampir semua protes.

Yang ditunjuk pakde Wir, wahana perahu meluncur di air terjun.

“Pokoknya aku didepan, semua dibelakang dijamin tidak kena air,” pakde Wir membujuk.

Akhirnya rombongan mengikuti pakde Wir naik perahu yang akan meluncur di air terjun. Pakde Wir duduk paling depan, pak Pangkat duduk di paling belakang. Mula-mula perahu hanyut di air yang tenang, namun mereka sudah menahan nafas, sambil memperbesar keberanian untuk melakukan petualangan. Namun tak urung ketika perahu baru saja mendekati bibir air terjun, sudah terdengan teriakan, dan ketika perahu menukik, meluncur di air terjun, semua menjerit histeris. Ketika perahu impak, mendarat di sungai yang berada dibawah, air yang dihantam perahu, muncrat, mengguyur semua penumpang, dan yang paling parah pakde Wir, benar-benar basah kuyub.

Setelah capek, makan, istirahat sejenak lalu diteruskan melihat macam-macam pertunjukan, seperti sirkus burung dan lumba-lumba. Di arena pertunjukan lumba-lumba ini rombongan, kena tegur petugas. Seperti anak-anak, setiap melihat melihat pertunjukan, rombongan selalu membawa cemilan. Sambil makan sambil nonton petujukan. Selagi asyik ngemil, tiba-tiba datang petugas, mungkin seperti Satpam. Ngomong pakai bahasa Jerman, karena tidak ngerti bahasanya, dikiranya Satpam itu mengajak ngobrol, makanya semua anggota rombongan memberi respon, dan biar dikira tau apa yang ia katakan semua mengangguk-angguk, sambil tersenyum senyum. Satpam itu terus bicara, dan rombongan terus manggut-manggut, sambil tersenyum dan kadang tertawa biar dikira tambah ramah, sambil terus ngemil. Tiba-tiba Satpam bule itu menunjuk dinding tak jauh dibelakang rombongan. Semua anggota rombongan menoleh ke belakang. Lha nggak taunya didinding itu terpampang tulisan dengan bahasa Ingris:

Dilarang makan di arena pertunjukan.”

Oh jadi, maksudnya Satpam itu melarang makan di arena pertunjukan. Yah, sudah terlanjur, semua cemilan sudah habis dimakanan.



Calon Astronut yang gagal


 Menjelang sore ketika mau pulang, lha kok pakde Wir nemu 2 wahan lagi yang belum dinaiki, yang pertama, naik deretan kursi ditarik keatas puncak menara. Menara lumayan tinggi, bentuknya seperti monas, melingkari tiang menara ada sederetan kursi. Kalau semua kursi sudah diduduki pengujung, kursi itu ditarik keatas, pelan-pelan melingkar dan naik hingga sampai puncak. Dari kursi itu pengujung bisa melihat sekeliling Europark dari ketinggian. Satu lagi wahan tak tau bentuknya, tapi dari luar terlihat seperti tenda raksa yang tertutup rapat. Pakde Wir masih penasaran, mengajak, mencoba 2 wahan itu.

Karena mereka belum pernah naik wahana menara semacam itu, mereka mengira, sepertinya tidak menakutkan, maka semua setuju naik. Lha, akan tetapi, setelah kursi diangkat pelan-pelan, mulai terasa menakutkan, semakin tinggi, semakin kursi jauh dari tanah rasa takut semakin bertambah. Mau keluar dari kursi, ya nggak berani, tentu saja jatuh. Minta berhenti, atau mau turun sendirian, ya nggak mungkin, karena kursi ditarik mesin, terus bergerak keatas. Untuk mengurnagi rasa takut ya bisanya hanya menjerit-jerit.

Ketika deretan kursi sampai di puncak menara, berhenti sejenak. Saat itu benar-benar terasa ngeri. Kursi itu terletak diluar, tanpa penghalang, hanya diberi sabuk pengaman. Ketika mereka melihat kebawah, telapak kaki seperti dikilik-kilik, serasa mendorong badan mau jatuh. Apa lagi sebelum kursi berhenti dipuncak, terdengar benturan, dan kursi memantul, semua yang naik kursi menjerit, mengira tali penarik kursi mau putus, menambah rasa takut yang amat sangat. Mereka membayangkan jika tali penarik kursi putus, kursi itu meluncur dengan sangat kencang lalu menghempaskan mereka diatas tanah, bisa hancur berkeping-keping.

Jerit ketakutan dan penderitaan singunen (takut ketinggian) mereka berakhir, ketika kursi turun hingga dibawah. Meskipun selamat tetapi trauma, makanya ketika pakde Wir mengajak masuk ke wahana yang bentuknya seperti tenda raksasa nggak ada yang mau.

Hampir semua serempak menjawab: “Udah-udah kami tunggu di cafe saja.”

Akhirnya dengan gagah perkasa, pakde Wir sendirian masuk ke wahana yang kelihatan misterius. Sedangkan rombongan bude Wir, tunggu di Cafe dekat pintu mau keluar Europark.

Setelah lama ditunggu, akhirnya pakde Wir datang, tetapi jalannya sempoyongan, tidak segagah waktu mau masuk wahana tenda raksasa.

“Alah, alah, Bapak, kenapa? Sakit ya?” Bude Wir tergopoh-gopoh menyambut kedatangan pakde Wir. Tetapi beliau diam saja, sambil terus jalan masuk Cafe, lalu duduk dikursi. Punggung disandarkan, kaki diluruskan. Setelah menarik nafas, “Kali ini aku kapok. Dijungkir, dibalik, diputer seperti gasingan,” guman pakde Wir.

“Lha itu tadi wahana apa?” Tanya pak Pangkat.

“Stimulasi ruang hampa calon Astronut,” jawab pakde Wir.