Weton Ge-ing
Bagi orang Jawa,
weton (nama hari pasaran) itu penting, terutama untuk Perjodohan. Satu mitos
yang paling kental, jika weton Wage dan Paing istilahnya Ge-Ing, dijodohkan,
rumah tangganya bakal selalu mengalami cekcok mengakibatkan jauh dari kebahagian.
Mungkin untuk menangkal tahayul itu, pak
Pangkat yang wetonnya Rebo Paing nekat saja kawin dengan bulik Utiek yang
wetonnya Sabtu Wage. Dan nyatanya sampai menjadi Opa dan Oma, happy-happy saja.
Kalau soal cekcok, enggak lha ya, tapi beda pendapat, selisih paham pastinya ada dan itu rasanya wajar. Di setiap rumah
tangga pastinya bumbu-bumbu seperti itu pernah dialami. Tanpa itu, artinya tak
pernah mengenyam romantika kehidupan berkeluarga. Seperti yang dialami Pak
Pangkat dan Bulik Utiek ketika Banjir Nasional melanda Jakarta.
Sudah hampir dua
minggu, hujan tak henti-hentinya turun mengakibatkan sungai-sungai yang
mengitari kawasan Jabodetabek, seperti, Ciliwung, Citarum, Cisadane, kali
Angke, berlomba-lomba meluap. Ditambah, air laut pun rob, akibatnya air bah
mandeg, dan 10 hari Jakarta lumpuh total, tergenang air.
Termasuk rumah pak Pangkat, terendam air bah,
cuma setinggi mata kaki, ketika berdiri diatas meja. Yah namanya musibah, mau
dibilang apa, tapi masalahnya bertepatan itu, Bulik Utik baru saja menarik
perabotan kantin dari gedung eks Bank Tiara, karena gedungnya di tutup.
Selama banjir menggenangi rumah, nggak
masalah mereka bisa ngungsi ke rumah mbak Ana atau mbak Novi. Masalnya timbul, ketika banjir sudah surut. Semua barang tertimbun
lumpur, termasuk perabotan restoran satu gudah penuh. Masyaallah Itu yang namanya lumpur,
susah sekali dibuang, jadi satu persatu perabotan harus dicuci dua kali,
mengghilangkan lumpur lalu dibilas dengan sabun. Termasuk sendok, porok, gelas,
piring, harus dikerjakan satu per satu. Jadi bisa dibayangkan, berapa hari
lamanya untuk membersihkan perabotan itu. Akhirnya hampir sebulan semua barang
dan perabotan bisa bersih dan diatur seperti sedia kala.
Hari terakhir,
tinggal sebuah peti besar berisi barang pecah belah. Sejak pagi pak Pangkat dan
bulik Utiek mendorong-dorong peti itu, hingga sampai di tengah pintu gudang.
Bulik Utik sudah berada didalam gudang, pak Pangkat berada diluar gudang. Sudah
hampir setengah jam mereka berkutat untuk menggeser peti, namun tidak bergeming
sedikit pun.
“Sudahlah Mah! Kita
istirahat dulu. Peti ini susah didorong masuk kedalam gudang,” kata pak
Pangkat.
“Apa? Mau dimasukkan
ke gudang? Justru saya mendorong keluar gudang,” teriak bulik Utiek dari dalam
gudang.
(Bukan lantaran
Ge-Ing, hanya missunderstand istilahnya ngalor ngidul, maksudnya pak Pangkat
kepingin ngalor, bulik Utiek kepingin ngidul).Yang terakhir tertawa
Sudah banyak orang mendengar anekdot seperti ini:
Pak Karta : Pak Mantri tadi ada orang jatuh dari pohon.
Pak Mantri : Oh ya? Terus, sudah ditolong?
Pak Karta : Boro-boro ditolong, malah diketawain.
Pak Mantri : Kamu juga ikut tertawa?
Pak Karta : Ah, enggak.
Pak Mantri : Bagus, itu namanya perbuatan yang terpuji. Kenapa kamu tidak tertawa?
Pak Karta : Saya nggak tertawa, tapi pringisan, wong yang jatuh itu saya.
Pak Karta : Pak Mantri tadi ada orang jatuh dari pohon.
Pak Mantri : Oh ya? Terus, sudah ditolong?
Pak Karta : Boro-boro ditolong, malah diketawain.
Pak Mantri : Kamu juga ikut tertawa?
Pak Karta : Ah, enggak.
Pak Mantri : Bagus, itu namanya perbuatan yang terpuji. Kenapa kamu tidak tertawa?
Pak Karta : Saya nggak tertawa, tapi pringisan, wong yang jatuh itu saya.
Atau novel seperti ini:
Tepat tengan malam, kapal penyeberangan
Merak-Bakauhuni dengan nama lambung “Roro Mendut”, sudah berada tepat
dipertengahan Selat Sunda. Cuaca semakin buruk, memang sejak lego jangkar di
pelabuhan Merak tadi cuaca sudah terlihat tidak bersahabat, maklum sekarang
sedang musim barat, namun kapal roro itu harus tetap diberangkatkan. Alasan
utamanya adalah hari itu hari H minus 1, kapal Roro Mendut, kapal roro yang
terakhir, oleh karena itu dengan segala pertimbangannya kapal yang sudah sarat
penumpang dan barang itu dilepas.
Malam semakin mencekam, kapal roro semakin
berat menerjang tingginya gelombang, penumpang terutama yang hanya kebagian di
kelas deck, semakin menciut nyalinya, sepi, tak ada celoteh, tawa, canda ria,
mereka sadar bukan saatnya sekarang untuk bergembira dalam kondisi semacam itu,
saat yang paling tepat, adalah berdoa.
Tiba-tiba “Byur” terdengar benda jatuh ke
laut dan segera disusul jeritan seorang ibu:
”Tolong ankku jatuh kelaut!”
Baru terdengar suara riuh, memecah kesunyian,
sahut menyahut, anak siapa, kenapa jatuh, gimana itu menolongnya, dan suara
lain semacam itu, namun anehnya tak seorangpun melakukan tindakaan.
Tiba-tiba “Byur” seorang melompat ke laut,
dengan cekatan orang itu berenang mengahmpiri anak yang tercebur kelaut.
Akhirnya dengan segala pertolongan dari atas kapal dengan melempar tali dan pelampung anak dan
penolong itu berhasil di angkat keatas dek. Seorang ibu lari-lari lalu memeluk
anak itu, setelah menumpah ruahkan tangis kegembiraanya, ibu itu menoleh pada
sang penolongnya, “Terima kasih Kakek, engkau telah menyelamatkan anakku.”
Ya memang benar, penolong tadi seorang kakek
yang renta dan kurus. Setelah itu Penumpang lain berebutan menyalami kakek itu,
dan terakhir Nahkoda kapal, datang lalu menyalami, sambil berkata:
“Terima kasih kakek, Kakek telah melakukan tindakan
berani, yang pantas mendapatkan penghargaan.”
“Saya tidak butuh penghargaan,” potong
Kakek itu acuh tak acuh sambil celingak celinguk dengan pandangan menyelidik orang-orang yang mengerumuninya, tiba-tiba,
“Saya mau tanya, siapa tadi yang mendorong
saya?”
Dan pak Pangkat punya pengalaman serupa humor diatas.
Ceriteranya kejadian
itu saat hajatan pernikahan adiknya bulik Utiek, namanya mas Harianto alias
Hari Gembong menikah dengan mbak Netty. Sebenarnya saat itu situasi rumah Jl. Rajawali, rumah kediaman
keluarga bapak R. Sutantyo sedang prihatin. Pak Tantyo sedang dirawat di Rumah
Sakit Gatotsubroto sudah beberapa waktu lamanya. Akan tetapi jadual pernikahan
sudah ditetapkan, undangan juga sudah disebar, maka ibarat pertunjukan, the show must go on.
Hari H minus 1. Hari sudah sore, tiba-tiba ada telpon dari pihak CPW (calon pengantin wanita) minta, malam ini CPP (calon pengantin Pria) datang, untuk menghadiri acara midodareni. Wah, situasi jadi panik. Tadinya acara ini ditiadakan, jadi ya nggak ada persiapan. Akhirnya diputuskan, yang berangkat, CPP diiringi beberapa orang laki-laki saja. Persiapan dimulai, yang ibu-ibu cari bahan untuk dibawa, yang mau ngater sibuk mencari pinjaman baju batik, sepatu dan macem-macem. Alhasil pas jam yang telah ditentukan semua siap, berangkat. Ya hanya 1 mobil, isinya CPP dan 5 orang pengantar. Mas Santo dan Mas Totok (kakak kandung CPP), mas Yos (adik ipar), mas Ristok dan pak Pangkat (kakak ipar).
Singkat ceritera sampailah rombongan CPP di kediaman CPW. Jauh sebelum tiba rumahnya, sudah terdengar suara gamelan. Semua pengantar CPP terperangah, jangan-jangan akan disambut dengan upacara adat besar-besaran, batin mereka. Begitu mobil sampai depan gerbang rumah CPW, semua yang berada didalam mobil dengkelen (gemetaran hebat), nggak bisa ngomong nggak bisa bergerak, nyalinya menciut. Ternyata selain musik gamelan, disana disiapkan tenda besar, yang menyambut banyak, pria dan wanita semua memakai seragam, busana adat Jawa ala Jogya.
Tiba-tiba pintu mobil dibuka dari luar, mau-nggak mau, ya terpaksa, semua penumpang keluar. Mas Risto dan Mas Totok sibuk mberesin barang yang mau dibawa, Mas Santo dan Mas Yos buru-buru nggandeng CPP, pak Pangkat didorong ke depan, jadilah ia cucuk lampah (mau nggak mau, ya terpaksa, jadi ketua rombongan).
Perlahan-lahan seraya diiringi gamelan, pak Pangkat didepan diiringi rombongan CPP bergerak maju menuju depan pintu rumah. Sebenarnya ya, nggak pelan-pelan ngikuti aluan musik gamelan, tetapi memang kaki mereka rasanya berat sekali digerakkan, apalagi dengar suara MC ngomongnya pakai Bahasa Jawa kromo inggil. Wah jangan jangan kata-kata sambut menyambut nanti pakai bahasa jawa kromo inggil, begitu batin pak Pangkat.
Bener juga, begitu ada aba-aba berhenti, datang orang menyiapkan mik tepat didepan pak Pangkat. Sementara itu suara gamelan berhenti, MC mempersilahkan pak Pangkat bicara, dengan bahasa Jawa Kromo Inggil.
Hari H minus 1. Hari sudah sore, tiba-tiba ada telpon dari pihak CPW (calon pengantin wanita) minta, malam ini CPP (calon pengantin Pria) datang, untuk menghadiri acara midodareni. Wah, situasi jadi panik. Tadinya acara ini ditiadakan, jadi ya nggak ada persiapan. Akhirnya diputuskan, yang berangkat, CPP diiringi beberapa orang laki-laki saja. Persiapan dimulai, yang ibu-ibu cari bahan untuk dibawa, yang mau ngater sibuk mencari pinjaman baju batik, sepatu dan macem-macem. Alhasil pas jam yang telah ditentukan semua siap, berangkat. Ya hanya 1 mobil, isinya CPP dan 5 orang pengantar. Mas Santo dan Mas Totok (kakak kandung CPP), mas Yos (adik ipar), mas Ristok dan pak Pangkat (kakak ipar).
Singkat ceritera sampailah rombongan CPP di kediaman CPW. Jauh sebelum tiba rumahnya, sudah terdengar suara gamelan. Semua pengantar CPP terperangah, jangan-jangan akan disambut dengan upacara adat besar-besaran, batin mereka. Begitu mobil sampai depan gerbang rumah CPW, semua yang berada didalam mobil dengkelen (gemetaran hebat), nggak bisa ngomong nggak bisa bergerak, nyalinya menciut. Ternyata selain musik gamelan, disana disiapkan tenda besar, yang menyambut banyak, pria dan wanita semua memakai seragam, busana adat Jawa ala Jogya.
Tiba-tiba pintu mobil dibuka dari luar, mau-nggak mau, ya terpaksa, semua penumpang keluar. Mas Risto dan Mas Totok sibuk mberesin barang yang mau dibawa, Mas Santo dan Mas Yos buru-buru nggandeng CPP, pak Pangkat didorong ke depan, jadilah ia cucuk lampah (mau nggak mau, ya terpaksa, jadi ketua rombongan).
Perlahan-lahan seraya diiringi gamelan, pak Pangkat didepan diiringi rombongan CPP bergerak maju menuju depan pintu rumah. Sebenarnya ya, nggak pelan-pelan ngikuti aluan musik gamelan, tetapi memang kaki mereka rasanya berat sekali digerakkan, apalagi dengar suara MC ngomongnya pakai Bahasa Jawa kromo inggil. Wah jangan jangan kata-kata sambut menyambut nanti pakai bahasa jawa kromo inggil, begitu batin pak Pangkat.
Bener juga, begitu ada aba-aba berhenti, datang orang menyiapkan mik tepat didepan pak Pangkat. Sementara itu suara gamelan berhenti, MC mempersilahkan pak Pangkat bicara, dengan bahasa Jawa Kromo Inggil.
Pak Pangkat diam,
belum bisa bicara. Hatinya nggak nyaman, berdiri didepan para Penyambut
mengenakan pakaian adat, sedangkan ia hanya pakai baju batik. Sebenarnya dengan
baju batik itu saja, ya memang sudah pantas, lha tetapi celananya jean. Karena
jean pinjaman, kepanjangan, terpaksa ujung celana dilipat, sudah gitu, pakai
sepatu tapi nggak pakai kaus kaki.
Mak nyuuut... kepala pak Pangkat serasa mengecil hingga sebesar biji kacang ijo. Suasana menjadi hening, malah menambah kacau, mencari kata-kata yang mau diucapkan nggak ketemu.
Hingga MC bicara lagi: Nuwun inggih, sumonggo bopo Pangkat, katuran munjuking atur.
(Silahkan pak Pangkat bicara). Dalam kepanikan itu, tiba-tiba pak Pangkat ingat waktu kecil sering menulis surat untuk ibu atau kakak-kakaknya dengan bahasa Jawa, kromo inggil. Setelah dehem tiga kali, lalu mengucap Assalamualaikum, pak Pangkat mulai bicara:
“Nuwun wiyosipun, sareng serat meniko, kawula ngaturi uningo, bilih kawontenan kawulo sadoyo, ginanjar kawilujengan, mbokbilih ...bla..bla,” (Dengan hormat, dengan surat ini, saya memberi kabar, bahwa keadaan saya beserta keluarga, dalam keadaan sehat, apabila....bla..bla), suaranya dibuat pelan sekali, sambil mundur sedikit-sedikit, ini memang sengaja, supaya kata-katanya nggak jelas, biar dikira suara mik yang nggak beres. Eeh lha kok tukang mik datang, mik digeser maju ke depan pak Pangkat. Pak Pangkat mudur lagi, tukang mik datang lagi, nggeser lagi, dan buru-buru pak Pangkat mengucapkan: “Wabilahi thofik wal hidayah, wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh,” dengan suara keras pastinya.
Lega, tugas selesai, walaupun mungkin tak jauh beda dengan dagelan Srimulat.
Meskipun begitu, upacara midodareni berjalan lancar hingga selesai.
Setelah pulang, sampai rumah Rajawali, ditanggap, disuruh ceritera. Semua yang ngantar CPP silih berganti berceritera, seisi rumah, semua tertawa terkekh-kekeh, terpingkal-pingkal, kecuali pak Pangkat.
Tiba-tiba pak Pangkat bicara:
“Mengko ndisik, aku arep takon, sopo mau, sing njorogke aku?”
(Ntar dulu, saya mau tanya, siapa tadi yang mendorong saya?”
Mak nyuuut... kepala pak Pangkat serasa mengecil hingga sebesar biji kacang ijo. Suasana menjadi hening, malah menambah kacau, mencari kata-kata yang mau diucapkan nggak ketemu.
Hingga MC bicara lagi: Nuwun inggih, sumonggo bopo Pangkat, katuran munjuking atur.
(Silahkan pak Pangkat bicara). Dalam kepanikan itu, tiba-tiba pak Pangkat ingat waktu kecil sering menulis surat untuk ibu atau kakak-kakaknya dengan bahasa Jawa, kromo inggil. Setelah dehem tiga kali, lalu mengucap Assalamualaikum, pak Pangkat mulai bicara:
“Nuwun wiyosipun, sareng serat meniko, kawula ngaturi uningo, bilih kawontenan kawulo sadoyo, ginanjar kawilujengan, mbokbilih ...bla..bla,” (Dengan hormat, dengan surat ini, saya memberi kabar, bahwa keadaan saya beserta keluarga, dalam keadaan sehat, apabila....bla..bla), suaranya dibuat pelan sekali, sambil mundur sedikit-sedikit, ini memang sengaja, supaya kata-katanya nggak jelas, biar dikira suara mik yang nggak beres. Eeh lha kok tukang mik datang, mik digeser maju ke depan pak Pangkat. Pak Pangkat mudur lagi, tukang mik datang lagi, nggeser lagi, dan buru-buru pak Pangkat mengucapkan: “Wabilahi thofik wal hidayah, wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh,” dengan suara keras pastinya.
Lega, tugas selesai, walaupun mungkin tak jauh beda dengan dagelan Srimulat.
Meskipun begitu, upacara midodareni berjalan lancar hingga selesai.
Setelah pulang, sampai rumah Rajawali, ditanggap, disuruh ceritera. Semua yang ngantar CPP silih berganti berceritera, seisi rumah, semua tertawa terkekh-kekeh, terpingkal-pingkal, kecuali pak Pangkat.
Tiba-tiba pak Pangkat bicara:
“Mengko ndisik, aku arep takon, sopo mau, sing njorogke aku?”
(Ntar dulu, saya mau tanya, siapa tadi yang mendorong saya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar