Suami bu Ning, namanya Cokorde Rake panggilan
populernya dalam keluarga Oom Rake. Setelah pensiun, Oom Rake pilih pulang
kandang, berdomisili di Denpasar, Bali. Beruntung dua putranya setelah lulus
kuliah bisa kerja di Denpasar, mas Agung kerja di BUMN sedang mas Wisnu kerja
di Bank Pemerintah. Diantara dua anak itu yang paling heboh dan super PD adalah
mas Wisnu.
Suatu hari, kantor mas Wisnu kedatangan calon Investor kelas kakap dari Jerman. Direksi mendelagasikan jajaran Managemen untuk menjamu dan memberi service kepada tamunya. Akan tetapi, 5 Manager termasuk mas Wisnu kelihatannya belum siap, maka mereka saling lempar tugas, hingga akhirnya pak Direktur menunjuk langsung pada mas Wisnu.
“Pak Wisnu, Anda bisa melakukan tugas itu, kan?” kata pak Direktur sopan tapi jelas menekan.
“Si..sii...siiap pak,” jawab mas Wisnu, tapi dalam hati “Si..sii.. siialan, inyong maning, inyong maning. Kepriben bapake kiye. Tembelek bebek dilotek-lotek tuli sih mlethek dewek.”
Meskipun mas Wisnu dikatakan putra Bali, tapi lahirnya di Australi, masa kecil dihabiskan di Cilacap, baru setelah kuliah pindah ke Semarang, makanya jangan heran jika ia sering kelepasan ngomong pakai bahasa induknya, bahasa Banyumas.
Esok harinya. “Sir, silahkan, mau pergi kemana? Tampak Siring, Bedugul, Trunyam, Kute, Sanur? Saya siap antar,” Mas Wisanu membuka tawaran pada tamunya.
“Oh tidak, tidak. Obyek wisata itu sudah sering saya kunjungi, dan kini obyek itu sudah tersentuh peradaban modern. Saya ingin obyek Bali yang benar-benar natural,” kata tamunya.
Obyek Bali natural? Apa ya?” gumam mas Wisnu sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Bingung, krena ia memang baru beberapa tahun tinggal di Bali, jadi ya wawasan Balinya belum lengkap. “Apa obyek semacam pura, candi apa peninggalan pra sejarah?” Tanya mas Wisanu.
“Oh tidak, tidak. Tigapuluh tahun lalu, saya pertama kali ke Bali. Saya masih menyaksikan wanita-wanita mencuci baju dan mandi di sungai sambil telanjang dada. Itulah Bali natural.”
“Waduh, sekarang kayaknya di Bali tidak ada lagi wanita yang mandi di kali,” gumam mas Wisnu. “Sebenatar Sir, saya cari info,” kata mas Wisnu, lalu telpon temannya yang asli Bali.
“Wayan, kamu tau? Dimana masih ada wanita mandi di kali?” Tanya mas Wisnu lewat HP.
“Coba kamu pergi dari Denpasar kearah Ubud. Nanti kamu ketemu kali besar, tebing dinding kali curam. Sebelum jembatan, disebelah kanan jalan ada restoran. Mapirlah kesitu, pilih duduk di teras samping, yang pemandanganya menghadap ke sungai. Biasanya selagi ada tamu restoran, makan-makan dan minum, wanita-wanita penduduk diseberang kali turun tebing, lalu mandi dan cuci baju sambil telanjang dada, menjadi suguhan yang atraktif,” jawab Wayan.
Dengan bekal info itu, esok harinya mas Wisnu mengajak tamunya menuju restoran yang dimaksud Wayan. Tak lama kemudian mas Wisnu dan tamunya sudah duduk di teras restoran, yang mengahadap kearah sungai. Sebenarnya tanpa wanita mandi, sepanjang bentangan sungai disekitar restoran pun termasuk indah panoramanya, membuat tamu betah duduk berlama-lama.
“Disana Sir, biasanya wanita penduduk seberang kali itu turun mencuci dan mandi di kali,” kata mas Wisnu sambil menunjuk dasar sungai. Meskipun kurang yakin, tetapi tetap PD.
“Sambil telanjang dada?” Tanya sang Bule.
“Betul, itulah Bali natural,” mas Wisnu mantab.
Tunggu dan tunggu lagi, hingga sore menjelang senja, tak ada sesorang pun mandi di kali.
“Bagai mana itu? kenapa tak ada wanita mandi?” tanya sang Bule.
“Mungkin cuaca mendung, jadi mereka memilih mencuci dan mandi dirumah masing-masing,” kilah mas Wisnu.
Dengan harapan hampa mereka pulang ke Denpasar. Malam harinya mas Wisnu penasaran, telopon Wayan.
“Wayan kamu bohong. Aku tungguin dari bedug lohor hingga maghrib, nggak ada wanita turun ke kali.”
“Ah masya iya sih?” jawab Wayan lewat Hp-nya.
“Bener, sampai aku malu sama tamuku.”
“Direstoran itu kamu makan dan minum apa?” tanya Wayan.
“Nggak makan, cuma minum-minum, kopi dan minuman ringan.”
“Habis berapa?”
“Sialan, cuma minum kopi sama softdrink saja habis 60 ribu.”
Tiba-tiba Wayan tertawa terkekeh, kekeh.
“Hallo! Hallo! Wayan, Wayan, kamu ngapiin?” mas Wisnu bingung.
“60 ribu saja kamu sesali, bayarnya pakai rupiah lagi. Bayar pakai dolar dong. Kalau kamu makan minum hingga habis minimal 50 dolar, baru ada wanita-wanita turun ke kali, mandi cuci dan melakukan aktivitas lain, sambil telanjang dada,” kata Wayan.
“Lho kok?” mas Wisnu heran.
“Tau nggak? Sebenarnya wanita-wanita yang turun ke kali itu karyawan dan orang-orang yang diupah, melakukan pertujukan ala Bali natural. Jika ada tamu belanja banyak, diam-diam pemilik restoran telpon ke seberang kali, dan pertunjukan Bali natural pun diperagakan.”
“Sialan, itu namanya pertunjukan striptease,” kata mas Wisnu sambil memantikan HP.
Suatu hari, kantor mas Wisnu kedatangan calon Investor kelas kakap dari Jerman. Direksi mendelagasikan jajaran Managemen untuk menjamu dan memberi service kepada tamunya. Akan tetapi, 5 Manager termasuk mas Wisnu kelihatannya belum siap, maka mereka saling lempar tugas, hingga akhirnya pak Direktur menunjuk langsung pada mas Wisnu.
“Pak Wisnu, Anda bisa melakukan tugas itu, kan?” kata pak Direktur sopan tapi jelas menekan.
“Si..sii...siiap pak,” jawab mas Wisnu, tapi dalam hati “Si..sii.. siialan, inyong maning, inyong maning. Kepriben bapake kiye. Tembelek bebek dilotek-lotek tuli sih mlethek dewek.”
Meskipun mas Wisnu dikatakan putra Bali, tapi lahirnya di Australi, masa kecil dihabiskan di Cilacap, baru setelah kuliah pindah ke Semarang, makanya jangan heran jika ia sering kelepasan ngomong pakai bahasa induknya, bahasa Banyumas.
Esok harinya. “Sir, silahkan, mau pergi kemana? Tampak Siring, Bedugul, Trunyam, Kute, Sanur? Saya siap antar,” Mas Wisanu membuka tawaran pada tamunya.
“Oh tidak, tidak. Obyek wisata itu sudah sering saya kunjungi, dan kini obyek itu sudah tersentuh peradaban modern. Saya ingin obyek Bali yang benar-benar natural,” kata tamunya.
Obyek Bali natural? Apa ya?” gumam mas Wisnu sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Bingung, krena ia memang baru beberapa tahun tinggal di Bali, jadi ya wawasan Balinya belum lengkap. “Apa obyek semacam pura, candi apa peninggalan pra sejarah?” Tanya mas Wisanu.
“Oh tidak, tidak. Tigapuluh tahun lalu, saya pertama kali ke Bali. Saya masih menyaksikan wanita-wanita mencuci baju dan mandi di sungai sambil telanjang dada. Itulah Bali natural.”
“Waduh, sekarang kayaknya di Bali tidak ada lagi wanita yang mandi di kali,” gumam mas Wisnu. “Sebenatar Sir, saya cari info,” kata mas Wisnu, lalu telpon temannya yang asli Bali.
“Wayan, kamu tau? Dimana masih ada wanita mandi di kali?” Tanya mas Wisnu lewat HP.
“Coba kamu pergi dari Denpasar kearah Ubud. Nanti kamu ketemu kali besar, tebing dinding kali curam. Sebelum jembatan, disebelah kanan jalan ada restoran. Mapirlah kesitu, pilih duduk di teras samping, yang pemandanganya menghadap ke sungai. Biasanya selagi ada tamu restoran, makan-makan dan minum, wanita-wanita penduduk diseberang kali turun tebing, lalu mandi dan cuci baju sambil telanjang dada, menjadi suguhan yang atraktif,” jawab Wayan.
Dengan bekal info itu, esok harinya mas Wisnu mengajak tamunya menuju restoran yang dimaksud Wayan. Tak lama kemudian mas Wisnu dan tamunya sudah duduk di teras restoran, yang mengahadap kearah sungai. Sebenarnya tanpa wanita mandi, sepanjang bentangan sungai disekitar restoran pun termasuk indah panoramanya, membuat tamu betah duduk berlama-lama.
“Disana Sir, biasanya wanita penduduk seberang kali itu turun mencuci dan mandi di kali,” kata mas Wisnu sambil menunjuk dasar sungai. Meskipun kurang yakin, tetapi tetap PD.
“Sambil telanjang dada?” Tanya sang Bule.
“Betul, itulah Bali natural,” mas Wisnu mantab.
Tunggu dan tunggu lagi, hingga sore menjelang senja, tak ada sesorang pun mandi di kali.
“Bagai mana itu? kenapa tak ada wanita mandi?” tanya sang Bule.
“Mungkin cuaca mendung, jadi mereka memilih mencuci dan mandi dirumah masing-masing,” kilah mas Wisnu.
Dengan harapan hampa mereka pulang ke Denpasar. Malam harinya mas Wisnu penasaran, telopon Wayan.
“Wayan kamu bohong. Aku tungguin dari bedug lohor hingga maghrib, nggak ada wanita turun ke kali.”
“Ah masya iya sih?” jawab Wayan lewat Hp-nya.
“Bener, sampai aku malu sama tamuku.”
“Direstoran itu kamu makan dan minum apa?” tanya Wayan.
“Nggak makan, cuma minum-minum, kopi dan minuman ringan.”
“Habis berapa?”
“Sialan, cuma minum kopi sama softdrink saja habis 60 ribu.”
Tiba-tiba Wayan tertawa terkekeh, kekeh.
“Hallo! Hallo! Wayan, Wayan, kamu ngapiin?” mas Wisnu bingung.
“60 ribu saja kamu sesali, bayarnya pakai rupiah lagi. Bayar pakai dolar dong. Kalau kamu makan minum hingga habis minimal 50 dolar, baru ada wanita-wanita turun ke kali, mandi cuci dan melakukan aktivitas lain, sambil telanjang dada,” kata Wayan.
“Lho kok?” mas Wisnu heran.
“Tau nggak? Sebenarnya wanita-wanita yang turun ke kali itu karyawan dan orang-orang yang diupah, melakukan pertujukan ala Bali natural. Jika ada tamu belanja banyak, diam-diam pemilik restoran telpon ke seberang kali, dan pertunjukan Bali natural pun diperagakan.”
“Sialan, itu namanya pertunjukan striptease,” kata mas Wisnu sambil memantikan HP.
Nasi Bali.
Ini ceriteranya Dikcik, putra ke 3 keluarga
pak Pangkat. Saat itu bulik Utiek buka kantin baru, di gedung EX jln Thamrin,
Jakarta. Karena kurang tenaga, Dikcik diminta tolong jaga kantin. “Berani Cik,
tunggu kantin?” Tanya bulik Utiek.
“Siapa takut,” jawabnya penuh PD.
Di Kantin itu, menu yang disajikan nasi racik, diantarnya nasi rames, nasi Bali, nasi langgi, nasi bakar, nasi timbel dll.
Saat makan siang tiba, datang salah satu orang mau membeli.
“Tumben, hari Sabtu kantin buka, biasanya tutup. Mas itu nasi apa?” Tanya orang itu sambil menunjuk nasi Bali.
“Oh, ini nasi Bali. Enak pak, mau cobain?” Dikcik pasang strategi marketing, mantab.
“Asli nasi Bali?” Tanya orang itu kurang yakin.
“Asli. Kalau di Bali, dinamakan nasi Jenggo.” Dikcik promosi.
“Kenapa dinamakan nasi Jenggo?”
“Lihat bungkusnya ini, seperti topi Cowboy, makanya dinamakan nasi Jenggo.”
Memang nasi Bali itu dibungkus dengan daun pisang, pinggir pembungkus kiri dan kananya melebar, jika direka-reka seperti bentuk topi khas cowboy.
Tiba-tiba orang itu tertawa.
“Kenapa pak?” Tanya Dikcik heran.
“Salah mas. Nasi Bali ini memang benar dinamakan nasi Jenggo, tapi bukan karena bungkusnya seperti topi cowboy. Di Bali, nasi bungkus ini harganya paling murah. Di jual dimana-mana. Tetapi, kebanyakan yang membeli bangsa Jeger, tukang palak, preman dan orang reseh seperti itu. Umumnya orang-orang itu senang miras. Kalau sedang mabok lagaknya seperti cowboy maka mereka dinamakan Jenggo. Karena kebanyakan yang membeli nasi itu, Jenggo, seterusnya disebutnya nasi Jenggo.”
“Lho kok Bapak tau?” Tanya Dikcik heran.
“Lha kan saya orang Bali asli.”
Dikcik cuma nyengir, coba kalau Dikcik jeli, dari pertama orang itu ngomong saja sudah bisa ditebak kalau ia orang Bali, Thumben hari Sabthu kanthin buka, biasanya thuthup. Ithu nasi apa?
“Siapa takut,” jawabnya penuh PD.
Di Kantin itu, menu yang disajikan nasi racik, diantarnya nasi rames, nasi Bali, nasi langgi, nasi bakar, nasi timbel dll.
Saat makan siang tiba, datang salah satu orang mau membeli.
“Tumben, hari Sabtu kantin buka, biasanya tutup. Mas itu nasi apa?” Tanya orang itu sambil menunjuk nasi Bali.
“Oh, ini nasi Bali. Enak pak, mau cobain?” Dikcik pasang strategi marketing, mantab.
“Asli nasi Bali?” Tanya orang itu kurang yakin.
“Asli. Kalau di Bali, dinamakan nasi Jenggo.” Dikcik promosi.
“Kenapa dinamakan nasi Jenggo?”
“Lihat bungkusnya ini, seperti topi Cowboy, makanya dinamakan nasi Jenggo.”
Memang nasi Bali itu dibungkus dengan daun pisang, pinggir pembungkus kiri dan kananya melebar, jika direka-reka seperti bentuk topi khas cowboy.
Tiba-tiba orang itu tertawa.
“Kenapa pak?” Tanya Dikcik heran.
“Salah mas. Nasi Bali ini memang benar dinamakan nasi Jenggo, tapi bukan karena bungkusnya seperti topi cowboy. Di Bali, nasi bungkus ini harganya paling murah. Di jual dimana-mana. Tetapi, kebanyakan yang membeli bangsa Jeger, tukang palak, preman dan orang reseh seperti itu. Umumnya orang-orang itu senang miras. Kalau sedang mabok lagaknya seperti cowboy maka mereka dinamakan Jenggo. Karena kebanyakan yang membeli nasi itu, Jenggo, seterusnya disebutnya nasi Jenggo.”
“Lho kok Bapak tau?” Tanya Dikcik heran.
“Lha kan saya orang Bali asli.”
Dikcik cuma nyengir, coba kalau Dikcik jeli, dari pertama orang itu ngomong saja sudah bisa ditebak kalau ia orang Bali, Thumben hari Sabthu kanthin buka, biasanya thuthup. Ithu nasi apa?