Kamis, 13 Februari 2014

Joko sembung naik Ojek



Pakde Wir, suami bude Wir, nama lengkapnya Gunadi Wiryono, akhirnya nyusul ke Swis, untuk ikut merayakan HUT mbah Putri. Siapa pun anggota keluarga trah Sastroatmajan mengenal pakde Wir, Sosok yang berwibawa, yang dihormati semua orang sekaligus menjadi panutan, inspirasi dan motivasi belajar, mengejar cita-cita setinggi langit dan semangat bekerja.

Maka tak heran prosentase besar anggota keluarga trah Sastroatmodjo telah menyelesaikan jenjang keserjanaan, dan bekerja pada tingkatan menengah keatas.

Penampilan pakde Wir, terkesan selalu formil, tak ada yang berani mengajak bercanda. Kecuali pakde Wir yang memulai, itu pun hanya sepatah dua patah kata. Karakter pakde Wir, mungkin terbawa oleh kariernya. Mantan, Lektor Perguruan Tinggi se Jateng, Rektor Untag, Atase Kebudayaan di Australi selama lebih dari 15 tahun, diteruskan menjabat Direktur Utama salah satu Kawasan Industri. Maka busana yang dikenakan tak lepas dari jas, dasi, safari dan seragam resmi lainnya. Akan tetapi, ketika sampai di Bern, setelah bergabung dengan Bude Wir, Bude Warso, Bu Ning dan Pak Pangkat, segala atribut kebesaran pakde Wir, dibuang, jadilah beliau, anggota rombongan orang tua imut-imut, yang lucu-lucu tingkah dan gayanya.

Pernah suatu hari, rombongan itu mengikuti bu Tien belanja keperluan masak menu Indonesia, seperti beras, ikan asin, cabe dan lain-lain bahan mentah. Yang menyediakan bahan semacam itu hanya ada satu toko China yang berada diperbatasan Perancis. Mungkin pemiliknya sudah menjadi Warga Negara Perancis, karena di Swiss, orang China dilarang berdagang.

Selesai belanja. ketika mau pulang pakde Wir nggak ada, setelah dicari sekitar Toko, eh nggak taunya sedang ngobrol dengan pemilik toko. Mungkin tidak aneh melihat pakde Wir ngobrol dengan orang. Tetapi kali itu menjadi aneh, sebab pakde Wir ngomongnya pakai bahasa Jawa, lawan bicaranya pakai bahasa Jerman, bahasa pengatar Swiss. Kelihatan gayeng (akrab, diselingi ketawa-ketawa). Setelah rombongan datang mengajak pulang, pakde Wir pamitan.

Wis yo koh, aku mulih disik,” kata pakde Wir, sambil melambaikan tangan.

China itu juga melambaikan tangan sambil ngomong pakai bahasa Jerman.

Setelah di mobil, dalam perjalanan pulang.

“Bapak ngendikan apa sama China, tadi,” tanya bude Wir pada pakde Wir.

“Ya iseng saja,” kata pakde Wir.

“Lha tadi pakde Wir kan bicara pakai boso Jowo. Apa China itu tadi ngerti?” tanya bu Ning.

“Lha itu serunya. Ia tidak tau bahasa Jawa, aku juga nggak ngerti bahasanya. Lha tetapi waktu aku ngomong, dia njawab, dia ngomong ya aku jawab, ya sudah jadi ngobrol,” kata pakde Wir.

(Joko Sembung naik ojek, ya nggak nyambung Jeck).



Salah tafsir


Kali ini ceriteranya rombongan orang tua imut-imut plus (maksudnya bude Warso, bude Wir, bu Ning dan Pak Pangkat plus pakde Wir) piknik ke Euro Park, tempat rekreasi seperti Dufan (Dunia Fantasi), Ancol, Jakarta.

Ketika masuk Europark ya mereka tidak asing lagi, karena mereka sudah sering masuk Dufan. Hanya bedanya, ketika masuk Dufan, mereka sebagai orang tua, yang momong anak-anak rekreasi, jadi yang naik segala macam wahana mainan ya anak-anak saja sedangkan orang tua hanya nungguin, di bawah atau malah ditunggu di restoran.

Nah sekarang di Europark orang tua itu sendiri yang sedang rekreasi, oleh karena itu pakde Wir, mengajak ikrar bersama, kalau satu naik sebuah wahana, semua harus ikut.

Jika melihat macam-macam wahana mainan ditempat rekrasi seperti itu, mereka tidak asing, tetapi jujur saja, mereka belum pernah naik, jadi ya seru, lucu dan kadang salah tingkah, ya ada takutnya. maka nggak malu-malu menjerit histeris, ketawa lepas, pokoknya heboh.

Semua berubah menjadi anak-anak, sumua wahan dinaiki, seperti bianglala, ada komidi kuda puter, kereta gantung, monorel, jetcouster. Bahkan mereka nekat meneruskan petualangan walaupun badan sudah basah karena naik rakit jeram riam.

Rakit itu bentuknya seperti ban dalam mobil, ukuran besar, muat untuk satu rombongan. Semula mereka mengira mau naik rakit yang dibawa arus air tenang, makanya sebelum naik masing-masing membawa bekal satu pak kentang goreng dan satu gelas plastik cocacola. Memang awalnya rakit itu hanyut di air tenang, makanya mereka masih bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, ketika mereka mulai mau makan, sepotong kentang baru sampai depan mulut, tiba-tiba rakit oleng, seperti membentur batu, kentang tidak masuk mulut, meleset ada yang kena hidung, ada yang kena pipi, mereka tertawa tergelak-gelak. Namun ketawa mereka tiba-tiba berhenti, berubah menjadi jeritan-jeritan, setelah kejutan berikutnya. Rakit masuk arus deras, maka oleng rakit tak terkendali, mereka goyang kemana-mana, kentang goreng berhamburan keluar dari tempatnya, cocacola muncrat-muncrat. Tidak hanya itu, karena muatan terombang-ambing menambah goyangan yang kuat, akibatnya rakit tambah kencang olengnya, hingga air sungai memercik masuk kedalam rakit, tak hayal, baju pun menjadi basah.

Adalah bude Warso, ya pertama-tama tobat. “Udah-udah aku nggak ikut-ikutan lagi, aku sakit jantung,” teriaknya setelah turun dari rakit.

“Satu lagi, naik itu setelah itu sudahan,” kata pakde Wir sambil menunjuk sebuah wahana.

“Hah! nggak salah? Engak mau, enggak mau, ntar tambah basah,” hampir semua protes.

Yang ditunjuk pakde Wir, wahana perahu meluncur di air terjun.

“Pokoknya aku didepan, semua dibelakang dijamin tidak kena air,” pakde Wir membujuk.

Akhirnya rombongan mengikuti pakde Wir naik perahu yang akan meluncur di air terjun. Pakde Wir duduk paling depan, pak Pangkat duduk di paling belakang. Mula-mula perahu hanyut di air yang tenang, namun mereka sudah menahan nafas, sambil memperbesar keberanian untuk melakukan petualangan. Namun tak urung ketika perahu baru saja mendekati bibir air terjun, sudah terdengan teriakan, dan ketika perahu menukik, meluncur di air terjun, semua menjerit histeris. Ketika perahu impak, mendarat di sungai yang berada dibawah, air yang dihantam perahu, muncrat, mengguyur semua penumpang, dan yang paling parah pakde Wir, benar-benar basah kuyub.

Setelah capek, makan, istirahat sejenak lalu diteruskan melihat macam-macam pertunjukan, seperti sirkus burung dan lumba-lumba. Di arena pertunjukan lumba-lumba ini rombongan, kena tegur petugas. Seperti anak-anak, setiap melihat melihat pertunjukan, rombongan selalu membawa cemilan. Sambil makan sambil nonton petujukan. Selagi asyik ngemil, tiba-tiba datang petugas, mungkin seperti Satpam. Ngomong pakai bahasa Jerman, karena tidak ngerti bahasanya, dikiranya Satpam itu mengajak ngobrol, makanya semua anggota rombongan memberi respon, dan biar dikira tau apa yang ia katakan semua mengangguk-angguk, sambil tersenyum senyum. Satpam itu terus bicara, dan rombongan terus manggut-manggut, sambil tersenyum dan kadang tertawa biar dikira tambah ramah, sambil terus ngemil. Tiba-tiba Satpam bule itu menunjuk dinding tak jauh dibelakang rombongan. Semua anggota rombongan menoleh ke belakang. Lha nggak taunya didinding itu terpampang tulisan dengan bahasa Ingris:

Dilarang makan di arena pertunjukan.”

Oh jadi, maksudnya Satpam itu melarang makan di arena pertunjukan. Yah, sudah terlanjur, semua cemilan sudah habis dimakanan.



Calon Astronut yang gagal


 Menjelang sore ketika mau pulang, lha kok pakde Wir nemu 2 wahan lagi yang belum dinaiki, yang pertama, naik deretan kursi ditarik keatas puncak menara. Menara lumayan tinggi, bentuknya seperti monas, melingkari tiang menara ada sederetan kursi. Kalau semua kursi sudah diduduki pengujung, kursi itu ditarik keatas, pelan-pelan melingkar dan naik hingga sampai puncak. Dari kursi itu pengujung bisa melihat sekeliling Europark dari ketinggian. Satu lagi wahan tak tau bentuknya, tapi dari luar terlihat seperti tenda raksa yang tertutup rapat. Pakde Wir masih penasaran, mengajak, mencoba 2 wahan itu.

Karena mereka belum pernah naik wahana menara semacam itu, mereka mengira, sepertinya tidak menakutkan, maka semua setuju naik. Lha, akan tetapi, setelah kursi diangkat pelan-pelan, mulai terasa menakutkan, semakin tinggi, semakin kursi jauh dari tanah rasa takut semakin bertambah. Mau keluar dari kursi, ya nggak berani, tentu saja jatuh. Minta berhenti, atau mau turun sendirian, ya nggak mungkin, karena kursi ditarik mesin, terus bergerak keatas. Untuk mengurnagi rasa takut ya bisanya hanya menjerit-jerit.

Ketika deretan kursi sampai di puncak menara, berhenti sejenak. Saat itu benar-benar terasa ngeri. Kursi itu terletak diluar, tanpa penghalang, hanya diberi sabuk pengaman. Ketika mereka melihat kebawah, telapak kaki seperti dikilik-kilik, serasa mendorong badan mau jatuh. Apa lagi sebelum kursi berhenti dipuncak, terdengar benturan, dan kursi memantul, semua yang naik kursi menjerit, mengira tali penarik kursi mau putus, menambah rasa takut yang amat sangat. Mereka membayangkan jika tali penarik kursi putus, kursi itu meluncur dengan sangat kencang lalu menghempaskan mereka diatas tanah, bisa hancur berkeping-keping.

Jerit ketakutan dan penderitaan singunen (takut ketinggian) mereka berakhir, ketika kursi turun hingga dibawah. Meskipun selamat tetapi trauma, makanya ketika pakde Wir mengajak masuk ke wahana yang bentuknya seperti tenda raksasa nggak ada yang mau.

Hampir semua serempak menjawab: “Udah-udah kami tunggu di cafe saja.”

Akhirnya dengan gagah perkasa, pakde Wir sendirian masuk ke wahana yang kelihatan misterius. Sedangkan rombongan bude Wir, tunggu di Cafe dekat pintu mau keluar Europark.

Setelah lama ditunggu, akhirnya pakde Wir datang, tetapi jalannya sempoyongan, tidak segagah waktu mau masuk wahana tenda raksasa.

“Alah, alah, Bapak, kenapa? Sakit ya?” Bude Wir tergopoh-gopoh menyambut kedatangan pakde Wir. Tetapi beliau diam saja, sambil terus jalan masuk Cafe, lalu duduk dikursi. Punggung disandarkan, kaki diluruskan. Setelah menarik nafas, “Kali ini aku kapok. Dijungkir, dibalik, diputer seperti gasingan,” guman pakde Wir.

“Lha itu tadi wahana apa?” Tanya pak Pangkat.

“Stimulasi ruang hampa calon Astronut,” jawab pakde Wir.