Pakde Wir, suami bude Wir, nama lengkapnya
Gunadi Wiryono, akhirnya nyusul ke Swis, untuk ikut merayakan HUT mbah Putri.
Siapa pun anggota keluarga trah Sastroatmajan mengenal pakde Wir, Sosok yang
berwibawa, yang dihormati semua orang sekaligus menjadi panutan, inspirasi dan
motivasi belajar, mengejar cita-cita setinggi langit dan semangat bekerja.
Maka tak heran prosentase besar anggota
keluarga trah Sastroatmodjo telah menyelesaikan jenjang keserjanaan, dan
bekerja pada tingkatan menengah keatas.
Penampilan pakde Wir, terkesan selalu formil,
tak ada yang berani mengajak bercanda. Kecuali pakde Wir yang memulai, itu pun
hanya sepatah dua patah kata. Karakter pakde Wir, mungkin terbawa oleh
kariernya. Mantan, Lektor Perguruan Tinggi se Jateng, Rektor Untag, Atase
Kebudayaan di Australi selama lebih dari 15 tahun, diteruskan menjabat Direktur
Utama salah satu Kawasan Industri. Maka busana yang dikenakan tak lepas dari
jas, dasi, safari dan seragam resmi lainnya. Akan tetapi, ketika sampai di
Bern, setelah bergabung dengan Bude Wir, Bude Warso, Bu Ning dan Pak Pangkat,
segala atribut kebesaran pakde Wir, dibuang, jadilah beliau, anggota rombongan
orang tua imut-imut, yang lucu-lucu tingkah dan gayanya.
Pernah suatu hari, rombongan itu mengikuti bu
Tien belanja keperluan masak menu Indonesia, seperti beras, ikan asin, cabe dan
lain-lain bahan mentah. Yang menyediakan bahan semacam itu hanya ada satu toko
China yang berada diperbatasan Perancis. Mungkin pemiliknya sudah menjadi Warga
Negara Perancis, karena di Swiss, orang China dilarang berdagang.
Selesai belanja. ketika mau pulang pakde Wir
nggak ada, setelah dicari sekitar Toko, eh nggak taunya sedang ngobrol dengan
pemilik toko. Mungkin tidak aneh melihat pakde Wir ngobrol dengan orang. Tetapi
kali itu menjadi aneh, sebab pakde Wir ngomongnya pakai bahasa Jawa, lawan
bicaranya pakai bahasa Jerman, bahasa pengatar Swiss. Kelihatan gayeng (akrab, diselingi ketawa-ketawa).
Setelah rombongan datang mengajak pulang, pakde Wir pamitan.
“Wis yo
koh, aku mulih disik,” kata pakde Wir, sambil melambaikan tangan.
China itu juga melambaikan tangan sambil
ngomong pakai bahasa Jerman.
Setelah di mobil, dalam perjalanan
pulang.
“Bapak ngendikan apa sama China, tadi,” tanya bude Wir
pada pakde Wir.
“Ya iseng saja,” kata pakde Wir.
“Lha tadi pakde Wir kan bicara pakai boso
Jowo. Apa China itu tadi ngerti?” tanya bu Ning.
“Lha itu serunya. Ia tidak tau bahasa Jawa,
aku juga nggak ngerti bahasanya. Lha tetapi waktu aku ngomong, dia njawab, dia
ngomong ya aku jawab, ya sudah jadi ngobrol,” kata pakde Wir.
(Joko
Sembung naik ojek, ya nggak nyambung Jeck).
Salah tafsir
Kali ini ceriteranya rombongan orang tua
imut-imut plus (maksudnya bude Warso, bude Wir, bu Ning dan Pak
Pangkat plus pakde Wir) piknik ke Euro Park, tempat rekreasi seperti Dufan
(Dunia Fantasi), Ancol, Jakarta.
Ketika masuk Europark ya mereka tidak asing
lagi, karena mereka sudah sering masuk Dufan. Hanya bedanya, ketika masuk
Dufan, mereka sebagai orang tua, yang momong anak-anak rekreasi, jadi yang naik
segala macam wahana mainan ya anak-anak saja sedangkan orang tua hanya
nungguin, di bawah atau malah ditunggu di restoran.
Nah sekarang di Europark orang tua itu
sendiri yang sedang rekreasi, oleh karena itu pakde Wir, mengajak ikrar
bersama, kalau satu naik sebuah wahana, semua harus ikut.
Jika melihat macam-macam wahana mainan
ditempat rekrasi seperti itu, mereka tidak asing, tetapi jujur saja, mereka
belum pernah naik, jadi ya seru, lucu dan kadang salah tingkah, ya ada
takutnya. maka nggak malu-malu menjerit histeris, ketawa lepas, pokoknya heboh.
Semua berubah menjadi anak-anak, sumua wahan
dinaiki, seperti bianglala, ada komidi kuda puter, kereta gantung, monorel,
jetcouster. Bahkan mereka nekat meneruskan petualangan walaupun badan sudah basah
karena naik rakit jeram riam.
Rakit itu bentuknya seperti ban dalam mobil,
ukuran besar, muat untuk satu rombongan. Semula mereka mengira mau naik rakit
yang dibawa arus air tenang, makanya sebelum naik masing-masing membawa bekal
satu pak kentang goreng dan satu gelas plastik cocacola. Memang awalnya rakit
itu hanyut di air tenang, makanya mereka masih bisa tertawa-tawa. Akan tetapi,
ketika mereka mulai mau makan, sepotong kentang baru sampai depan mulut,
tiba-tiba rakit oleng, seperti membentur batu, kentang tidak masuk mulut,
meleset ada yang kena hidung, ada yang kena pipi, mereka tertawa
tergelak-gelak. Namun ketawa mereka tiba-tiba berhenti, berubah menjadi
jeritan-jeritan, setelah kejutan berikutnya. Rakit masuk arus deras, maka oleng
rakit tak terkendali, mereka goyang kemana-mana, kentang goreng berhamburan
keluar dari tempatnya, cocacola muncrat-muncrat. Tidak hanya itu, karena muatan
terombang-ambing menambah goyangan yang kuat, akibatnya rakit tambah kencang
olengnya, hingga air sungai memercik masuk kedalam rakit, tak hayal, baju pun
menjadi basah.
Adalah bude Warso, ya pertama-tama tobat.
“Udah-udah aku nggak ikut-ikutan lagi, aku sakit jantung,” teriaknya setelah
turun dari rakit.
“Satu lagi, naik itu setelah itu sudahan,”
kata pakde Wir sambil menunjuk sebuah wahana.
“Hah! nggak salah? Engak mau, enggak
mau, ntar tambah basah,” hampir semua protes.
Yang ditunjuk pakde Wir, wahana perahu
meluncur di air terjun.
“Pokoknya aku didepan, semua dibelakang
dijamin tidak kena air,” pakde Wir membujuk.
Akhirnya rombongan mengikuti pakde Wir naik
perahu yang akan meluncur di air terjun. Pakde Wir duduk paling depan, pak
Pangkat duduk di paling belakang. Mula-mula perahu hanyut di air yang tenang,
namun mereka sudah menahan nafas, sambil memperbesar keberanian untuk melakukan
petualangan. Namun tak urung ketika perahu baru saja mendekati bibir air
terjun, sudah terdengan teriakan, dan ketika perahu menukik, meluncur di air
terjun, semua menjerit histeris. Ketika perahu impak, mendarat di sungai yang
berada dibawah, air yang dihantam perahu, muncrat, mengguyur semua penumpang,
dan yang paling parah pakde Wir, benar-benar basah kuyub.
Setelah capek, makan, istirahat sejenak lalu
diteruskan melihat macam-macam pertunjukan, seperti sirkus burung dan lumba-lumba.
Di arena pertunjukan lumba-lumba ini rombongan, kena tegur petugas. Seperti
anak-anak, setiap melihat melihat pertunjukan, rombongan selalu membawa
cemilan. Sambil makan sambil nonton petujukan. Selagi asyik ngemil, tiba-tiba
datang petugas, mungkin seperti Satpam. Ngomong pakai bahasa Jerman, karena
tidak ngerti bahasanya, dikiranya Satpam itu mengajak ngobrol, makanya semua anggota
rombongan memberi respon, dan biar dikira tau apa yang ia katakan semua mengangguk-angguk, sambil tersenyum senyum.
Satpam itu terus bicara, dan rombongan terus manggut-manggut, sambil tersenyum
dan kadang tertawa biar dikira tambah ramah, sambil terus
ngemil. Tiba-tiba Satpam bule itu menunjuk dinding tak jauh dibelakang
rombongan. Semua anggota rombongan menoleh ke belakang. Lha
nggak taunya didinding itu terpampang tulisan dengan bahasa Ingris:
“Dilarang makan di
arena pertunjukan.”
Oh jadi, maksudnya Satpam itu melarang makan
di arena pertunjukan. Yah, sudah terlanjur, semua cemilan sudah habis
dimakanan.
Calon Astronut yang gagal
Menjelang sore ketika mau pulang, lha kok
pakde Wir nemu 2 wahan lagi yang belum dinaiki, yang pertama, naik deretan kursi
ditarik keatas puncak menara. Menara lumayan tinggi, bentuknya seperti monas,
melingkari tiang menara ada sederetan kursi. Kalau semua kursi sudah diduduki
pengujung, kursi itu ditarik keatas, pelan-pelan melingkar dan naik hingga
sampai puncak. Dari kursi itu pengujung bisa melihat sekeliling Europark dari
ketinggian. Satu lagi wahan tak tau bentuknya, tapi dari luar terlihat seperti
tenda raksa yang tertutup rapat. Pakde Wir masih penasaran, mengajak, mencoba 2
wahan itu.
Karena mereka belum pernah naik wahana menara
semacam itu, mereka mengira, sepertinya tidak menakutkan, maka semua setuju
naik. Lha, akan tetapi, setelah kursi diangkat pelan-pelan, mulai terasa
menakutkan, semakin tinggi, semakin kursi jauh dari tanah rasa takut semakin
bertambah. Mau keluar dari kursi, ya nggak berani, tentu saja jatuh. Minta
berhenti, atau mau turun sendirian, ya nggak mungkin, karena kursi ditarik
mesin, terus bergerak keatas. Untuk mengurnagi rasa takut ya bisanya hanya
menjerit-jerit.
Ketika deretan kursi sampai di puncak menara,
berhenti sejenak. Saat itu benar-benar terasa ngeri. Kursi itu terletak diluar,
tanpa penghalang, hanya diberi sabuk pengaman. Ketika mereka melihat kebawah,
telapak kaki seperti dikilik-kilik, serasa mendorong badan mau jatuh. Apa lagi
sebelum kursi berhenti dipuncak, terdengar benturan, dan kursi memantul, semua
yang naik kursi menjerit, mengira tali penarik kursi mau putus, menambah rasa
takut yang amat sangat. Mereka membayangkan jika tali penarik kursi putus,
kursi itu meluncur dengan sangat kencang lalu menghempaskan mereka
diatas tanah, bisa hancur berkeping-keping.
Jerit ketakutan dan penderitaan singunen (takut ketinggian) mereka
berakhir, ketika kursi turun hingga dibawah. Meskipun selamat tetapi trauma,
makanya ketika pakde Wir mengajak masuk ke wahana yang bentuknya seperti tenda
raksasa nggak ada yang mau.
Hampir semua serempak menjawab: “Udah-udah
kami tunggu di cafe saja.”
Akhirnya dengan gagah perkasa, pakde Wir
sendirian masuk ke wahana yang kelihatan misterius. Sedangkan rombongan bude
Wir, tunggu di Cafe dekat pintu mau keluar Europark.
Setelah lama ditunggu, akhirnya pakde Wir datang,
tetapi jalannya sempoyongan, tidak segagah waktu mau masuk wahana tenda
raksasa.
“Alah, alah,
Bapak, kenapa? Sakit ya?” Bude Wir tergopoh-gopoh menyambut kedatangan pakde
Wir. Tetapi beliau diam saja, sambil terus jalan masuk Cafe, lalu duduk dikursi.
Punggung disandarkan, kaki diluruskan. Setelah menarik nafas, “Kali ini aku
kapok. Dijungkir, dibalik, diputer seperti gasingan,” guman pakde Wir.
“Lha itu tadi wahana apa?” Tanya pak Pangkat.
“Stimulasi ruang hampa calon Astronut,” jawab
pakde Wir.