Kamis, 03 April 2014

Panci lux



“Ada tempat masakan yang dinamakan Panci Lux. Ketika kita masih tinggal di Lebeng, Kita pernah mendapat kiriman gulai kambing ditempatkan di Panci Lux,” ceritera mbah Putri.

Ya memang betul, waktu anak-anak masih kecil, mbah Kakung pernah di-benum (ditugaskan Negara) menjadi kepala poliklinik di desa terpencil bernama Lebeng (huruf ‘e’ dibaca seperti kata lemper), masuk kabupaten Cilacap. Desa itu juga punya pasar, tetapi ramainya hanya 5 hari sekali, yakni pas hari yang pakai nama Legi, misalnya senen legi, jumat legi dst.

Ini ceritera mbah putri selengkapnya:

Pernah disuatu hari pasaran, pasar Lebeng dihebohkan dengan munculnya barang baru yang dinamakan sabun Lux. Katanya sabun ini sabun paling modern, karena termakan propaganda, barang itu laris. Tidak hanya sabunnya yang menjadi populer tetapi kata ‘Lux’ berubah menjadi atribut untuk menunjuk barang-barang yang berbau modern atau yang berkualitas baik. Misalnya kursi yang bagus, enak diduduki disebut Kursi Lux. Sepeda yang baru, cat dan kromnya masih mengkilap disebut Sepeda Lux, buku tulis yang kertasnya halus disebut buku lux dan lain semacam itu.

Suatu hari datang utusan dari keluarga Haji Kohar yang kondang dipanggil kiyai Karang Kandri sambil diiringi 4 orang membawa 2 buah jodang.

Jodang adalah peti khas daerah Banyumas, khusus untuk membawa barang hantaran makanan. Setelah makanan diserah terimakan, makanan diambil, tempat makanan seperti piring dan panci yang kosong dimasukkan kembali kedalam jodang, lalu jodang itu dibawa kembali ke pemiliknya.

Tidak semua penduduk mempunyai jodang. Barang itu merupakan simbul status. Yang punya jodang orang kaya dan yang dikirimi makanan umumnya hanya orang-orang terhormat.

Baru kali itu keluarga kami mendapat kiriman jodang, apa lagi sekali gus dua buah, hampir seluruh penghuni rumah mengerumuni jodang, ingin tau apa isinya.

Sesuai adat, sebelum jodang diserahkan, utusan itu menyampaikan amanah. Katanya, Haji Kohar punya hajat khitanan beberapa cucunya dan sekaligus syukuran, usaha pertanian dan perternakannya tambah maju.

Setelah jodang diserahkan, yu War (pembantu rumah tangga kami yang setia) dibantu anak-anak, sibuk memindah mindahkan makanan khas hajatan daerah Banyumas. Mulai dari makanan ringan, seperti, jadah, wajik, rengginan, kembang goyang, hingga makanan berat, ada nasi, ikan gurameh, panggang ayam dan masih banyak lauk-lauk yang lain.

Suasana riang, penuh canda, celoteh anak-anak sambil ikut-ikutan sibuk membantu yu War, mengundang senyum orang yang menjadi utusan kiyai Karang Kandri lalu katanya:

“Hati-hati jangan sampai tumpah, ada gulai kambing ditematkan di Panci lux.”

“Panci lux?” Tanya yu War.

“Iya panci lux. Panci itu masih gres, baru kemarin dibeli.”

“Yang mana?” Tanya yu War penasaran.

“Itu di pojok jodang, ditutupi daun pisang,” kata utusan dari Karang Kandri.

Yu War membuka penutup daun pisang yang lebar, lalu hati-hati mengangkat panci lux yang ditunjuk utusan Haji Kohar. Tetapi, ketika panci lux diangkat keatas dan semua yang berada disitu melihat panci lux, spontan meledak tawanya. Ya ampun! Itu kan pispot namanya.

Tetapi sebelum ada yang melontarkan kata-kata itu, mbah Putri sudah mendahuli menghardik anak-anak:

“Apa yang kalian tertawakan? Ayo cepat ganti tempatnya.”

Malam harinya, ketika kami sekeluarga kumpul makan malam. Kalau sedang ngumpul semua begini, kami menggelar tikar, apa lagi kali ini hidangannya banyak, bermacam-macam dan lauknya komplit, semua kiriman dari Karang Kandri. Seperti sedang pesta saja layaknya. Pas makan malam dimulai pas kang Kasim (seorang juru rawat, asisten mbah Kakung) datang.

“Ayo Sim, sini, sekalian makan,” kata mbah Putri.

Kang Kasim memang tak pernah membantah perintah, apalagi perintah makan. Dengan patuh kang Kasim segera bergabung makan malam.

Tak lama kemudian muncul yu War dari dapur, membawa panci besar (yang ini pastinya panci biasa, bukan panci lux) sambil berkata: “Ini gulai kambingnya…”

Belum selesai yu War bicara, anak anak serempak menjawab:

“Enggak, enggak,” sambil menutup mulutnya.

Yu War tersenyum, mau balik ke dapur. Tiba-tiba kang Kasim berdiri dari duduknya lalu katanya: “Tunggu, gulai kambing ya? Aku mau.”

Kang Kasim lalu mendekati yu War sambil membawa piring nasinya. Setelah diambilkan gulai kambing, kang Kasim kembali duduk, menerusklan makannya. Semua yang ada disitu memandangi kang Kasim. Tetapi ia terus saja makan, tidak merasa menjadi pusat perhatian.

“Enak Sim?” tanya mbah Putri.

“Eunak sekali,” kata kang Kasim sambil terus melahap nasinya.

“Nggak bau urin?” tanya mbah Kakung.

“Ah ya enggak, ya bau gulai, enak, empuk.”

Selesai makan, yu War ceritera, itu tadi gulainya diwadahi pispot. Dan semua yang ada disitu tertawa, kecuali kang Kasim.

Rabu, 05 Maret 2014

Opa Pangkat



Apa arti sebuah nama.
Kata orang Yunani, sebuah nama itu, tidak ada artinya. Mereka tidak peduli kenapa tepung gandum yang diuleni lalu dimasukkan open setelah matang dinamakan roti? Kenapa tidak dinamakan gandop? Dan mereka juga tidak protes ketika gandum diuleni lalu diopen setelah mateng dinamakan cake.
Dari itulah munculnya falsafah “Apa arti sebuah nama?”
Nama itu hanya sekedar kata, yang penting substansinya begitu kira-kira tafsirnya.
Lain di Yunani, lain di Indonesia. Teman saya membuka usaha restoran. Sejak buka hingga berjalan sebulan, restorannya sepi pengunjung. Padahal letak restoran strategis, ketika mau buka restoran, ya sudah panggil ahli hong sui segala. Ketika saya mampir di restorannya, saya menyarankan, cobalah restoranmu ini digati namanya.
Ia sepertinya tidak sependapat, ia bilang: “apalah arti sebuah nama.”

Selang sebulan kemudian, teman saya menelpon, katanya sekarang restorannya ramai sekali, ini berkat pakai perhitungan peng sui.
“Ayolah, mampir ke restoran,” katanya dari ponselnya.
Ketika ada waktu luang saya mampir, sebelum masuk restoran saya sempat melihat ada perubahan, selain pengunjung ramai, papan nama restoran sudah diganti:
Rumah Makan Sudi Mampir, Masakan siap saji.”

Saya hanya mbatin, ini mah, bukan perhitungan peng sui, mungkin karena ganti nama, sekarang resatorannya jadi ramai pengunjung. Coba bandingkan, dulu restoran ini diberi nama “Restoran Sabar menanti.” Kesannya, orang masuk restoran ini tidak boleh marah, meskipun masakkannya enggak mateng-mateng. Kalau orang itu tanya, mana pesanan saya? Jawabnya, sabar menanti ya mas (Capek deh).



Opa Pangkat
Setelah Pak Pangkat punya cucu, cucu-cucunya memanggil pak Pangkat dan bu Pangkat dengan sebutan Opa dan Oma. kenapa? Inilah kisahnya.

Telah lahir dengan sukses. Maksudnya, Ibunya selamat, bayinya lahir sehat. Itulah cucu pertama bapak Letkol R. Sutantyo. Berikut wawancara dengan Bapak R.Soetantyo.

Nantinya cucu memanggil bapak apa? Eyang, Kakek, apa Simbah?
Dipanggil eyang ya boleh, sebab istri saya masih punya aliran darah biru, terlahir dengan nama Raden Ayu Koosharini, punya 2 garis keturunan sekaligus, trah Ngadisuryan dari Surokarto Hadiningratan dan trah Wiroradityo dari Amangkuratan Kartosuro. Makanya semua cucu dari keponakan memanggil saya, eyang. Kalau nanti cucu saya panggil eyang, saya bingung,  enggak bisa mbedain, cucuku sendiri apa cucu keponakan.

Oh jadi bapak nggak mau dipanggil Eyang, apa sebaiknya dipanggil Simbah saja?
Dipanggil simbah ya pantas, sebab saya ini kan orang ndeso.
Lho? Bukannya bapak juga Priyayi dari Njeron Beteng?
Oh bukan, saya ini asli anak ndeso Karang Gede, Salatiga.
Lho, lha R didepan nama bapak itu kan indikasi kaum ningrat.
Jangan salah, R itu nama kecil saya, singkatan dari Rudolf. Ketika itu jaman semangat sumpah pemuda. Ayah saya terinspirasi dengan nama pemuda yang saat itu sedang populer, pencipta lagu Indonesia raya bernama Wage Rudolf Supratman. Makanya ketika saya lahir diberi nama Rudolf. Tetapi teman-taman saya yang wong ndeso susah mengucapkan Rudolf, mereka sering mengganti dengan nama Rudi. Dari pada orang salah panggil, namanya saya singkat, jadilah R. Soetantyo.
Oh jadi Bapak nanti pinggin dipanggil Simbah?
Simbah? Hari gini? Jaman sudah berubah, ndeso jadi kota, kota jadi metropolitan, metropolitan sudah jadi cosmopolitan apa masih ada orang yang mau dipanggil Simbah?
Ya kalau gitu dipanggil Kakek saja.
Apa saya ini sudah renta?
Ya belum, sikap masih tegap, otot masih kencang, refleksi belum pudar.
Lha tapi, cucunya nanti panggil apa dog?
Ya sudah, biarkan cucu saya nanti panggil Opa.
Lho? apa bapak keturunan orang Belanda?
Londo Eropa ya tidak, pastinya keturunan Londo ireng.
Lha kenapa minta dipanggil Opa?
Yeah, apalah arti sebuah nama.

 Sejak itu semua cucu bapak R Soetantyo memanggil eyangnya dengan sebutan Opa. Tidak hanya itu, kelak putra dan putri Pak Tantyo, ketika punya cucu panggilannya juga Opa dan Oma, katanya untuk mewarisi tradisi dan menghormati garis pertama dari trah R. Soetantyo.
Tokoh Opa yang diceriterakan tadi, tidak lain tidak bukan adalah Bapak Mertua dari Pak Pangkat, Ayah kandung dari bu Pangkat.
Tokoh cucu yang diceriterakan tadi, adalah mbak Ana, putri pertama keluarga Pak Pangkat. Sekarang mbak Ana sudah punya dua putri. Karena tradisi, anak mbak Ana, Dela dan Nadya, memanggil Pak Pangkat dan Bu Pangkat dengan sebutan Opa dan Oma. Demikian juga kalau Dela dan Nadya memanggil saudara bu Pangkat, menyebut Opa dan Oma, misalnya Opa Totok dan Oma Kus. Tetapi kalau memanggil saudara dari Pak Pangkat, tetap dengan sebutan Eyang, seperti Eyang Agus, Eyang Tien dan lain-lainnya.