Rabu, 05 Maret 2014

Opa Pangkat



Apa arti sebuah nama.
Kata orang Yunani, sebuah nama itu, tidak ada artinya. Mereka tidak peduli kenapa tepung gandum yang diuleni lalu dimasukkan open setelah matang dinamakan roti? Kenapa tidak dinamakan gandop? Dan mereka juga tidak protes ketika gandum diuleni lalu diopen setelah mateng dinamakan cake.
Dari itulah munculnya falsafah “Apa arti sebuah nama?”
Nama itu hanya sekedar kata, yang penting substansinya begitu kira-kira tafsirnya.
Lain di Yunani, lain di Indonesia. Teman saya membuka usaha restoran. Sejak buka hingga berjalan sebulan, restorannya sepi pengunjung. Padahal letak restoran strategis, ketika mau buka restoran, ya sudah panggil ahli hong sui segala. Ketika saya mampir di restorannya, saya menyarankan, cobalah restoranmu ini digati namanya.
Ia sepertinya tidak sependapat, ia bilang: “apalah arti sebuah nama.”

Selang sebulan kemudian, teman saya menelpon, katanya sekarang restorannya ramai sekali, ini berkat pakai perhitungan peng sui.
“Ayolah, mampir ke restoran,” katanya dari ponselnya.
Ketika ada waktu luang saya mampir, sebelum masuk restoran saya sempat melihat ada perubahan, selain pengunjung ramai, papan nama restoran sudah diganti:
Rumah Makan Sudi Mampir, Masakan siap saji.”

Saya hanya mbatin, ini mah, bukan perhitungan peng sui, mungkin karena ganti nama, sekarang resatorannya jadi ramai pengunjung. Coba bandingkan, dulu restoran ini diberi nama “Restoran Sabar menanti.” Kesannya, orang masuk restoran ini tidak boleh marah, meskipun masakkannya enggak mateng-mateng. Kalau orang itu tanya, mana pesanan saya? Jawabnya, sabar menanti ya mas (Capek deh).



Opa Pangkat
Setelah Pak Pangkat punya cucu, cucu-cucunya memanggil pak Pangkat dan bu Pangkat dengan sebutan Opa dan Oma. kenapa? Inilah kisahnya.

Telah lahir dengan sukses. Maksudnya, Ibunya selamat, bayinya lahir sehat. Itulah cucu pertama bapak Letkol R. Sutantyo. Berikut wawancara dengan Bapak R.Soetantyo.

Nantinya cucu memanggil bapak apa? Eyang, Kakek, apa Simbah?
Dipanggil eyang ya boleh, sebab istri saya masih punya aliran darah biru, terlahir dengan nama Raden Ayu Koosharini, punya 2 garis keturunan sekaligus, trah Ngadisuryan dari Surokarto Hadiningratan dan trah Wiroradityo dari Amangkuratan Kartosuro. Makanya semua cucu dari keponakan memanggil saya, eyang. Kalau nanti cucu saya panggil eyang, saya bingung,  enggak bisa mbedain, cucuku sendiri apa cucu keponakan.

Oh jadi bapak nggak mau dipanggil Eyang, apa sebaiknya dipanggil Simbah saja?
Dipanggil simbah ya pantas, sebab saya ini kan orang ndeso.
Lho? Bukannya bapak juga Priyayi dari Njeron Beteng?
Oh bukan, saya ini asli anak ndeso Karang Gede, Salatiga.
Lho, lha R didepan nama bapak itu kan indikasi kaum ningrat.
Jangan salah, R itu nama kecil saya, singkatan dari Rudolf. Ketika itu jaman semangat sumpah pemuda. Ayah saya terinspirasi dengan nama pemuda yang saat itu sedang populer, pencipta lagu Indonesia raya bernama Wage Rudolf Supratman. Makanya ketika saya lahir diberi nama Rudolf. Tetapi teman-taman saya yang wong ndeso susah mengucapkan Rudolf, mereka sering mengganti dengan nama Rudi. Dari pada orang salah panggil, namanya saya singkat, jadilah R. Soetantyo.
Oh jadi Bapak nanti pinggin dipanggil Simbah?
Simbah? Hari gini? Jaman sudah berubah, ndeso jadi kota, kota jadi metropolitan, metropolitan sudah jadi cosmopolitan apa masih ada orang yang mau dipanggil Simbah?
Ya kalau gitu dipanggil Kakek saja.
Apa saya ini sudah renta?
Ya belum, sikap masih tegap, otot masih kencang, refleksi belum pudar.
Lha tapi, cucunya nanti panggil apa dog?
Ya sudah, biarkan cucu saya nanti panggil Opa.
Lho? apa bapak keturunan orang Belanda?
Londo Eropa ya tidak, pastinya keturunan Londo ireng.
Lha kenapa minta dipanggil Opa?
Yeah, apalah arti sebuah nama.

 Sejak itu semua cucu bapak R Soetantyo memanggil eyangnya dengan sebutan Opa. Tidak hanya itu, kelak putra dan putri Pak Tantyo, ketika punya cucu panggilannya juga Opa dan Oma, katanya untuk mewarisi tradisi dan menghormati garis pertama dari trah R. Soetantyo.
Tokoh Opa yang diceriterakan tadi, tidak lain tidak bukan adalah Bapak Mertua dari Pak Pangkat, Ayah kandung dari bu Pangkat.
Tokoh cucu yang diceriterakan tadi, adalah mbak Ana, putri pertama keluarga Pak Pangkat. Sekarang mbak Ana sudah punya dua putri. Karena tradisi, anak mbak Ana, Dela dan Nadya, memanggil Pak Pangkat dan Bu Pangkat dengan sebutan Opa dan Oma. Demikian juga kalau Dela dan Nadya memanggil saudara bu Pangkat, menyebut Opa dan Oma, misalnya Opa Totok dan Oma Kus. Tetapi kalau memanggil saudara dari Pak Pangkat, tetap dengan sebutan Eyang, seperti Eyang Agus, Eyang Tien dan lain-lainnya.

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar