Mungkin ada yang nggak percaya, sebenarnya
gen humaniora pada generasi trah Sastroatmodjo itu diturunkan dari mbah Putri.
Mau bukti? Disini diceriterakan secuil saja, karakter humornya mbah putri.
Ketika itu, mbah Putri diiringi, budhe Warso,
budhe Wir, bu Ning dan pak Pangkat, sedang jalan-jalan di Kota Tua, Bern,
Swiss. Kota Tua itu pusat perdagangang, kalau di Jakarta semacam Pasar baru.
Melihat jalannya mbah Putri terseok-seok, Anak-anak mengira, wah kayaknya
sepatunya simbah sudah rusak. Sambil jalan anak-anak berunding.
“Ayo, ibu kita belikan sepatu,” ajak budhe
Wir, sambil bisik-bisik tentunya.
“Setuju, tapi, harga sepatu disini, tentu
mahal sekali,” kata bu Ning.
“Lha iya lah kan disini hitungannya dolar,”
kata pak Pangkat.
“Itu-itu ada toko sepatu Bata!” Bisik bude
Warso, sambil menunjuk toko sepatu Bata. Jangan heran diseluruh Dunia ada toko
sepatu Bata.
“Ya kalau Bata, semahal-mahalnya masih
terjangkau, kan harganya standard,” kata pak Pangkat.
Bu Ning mendekati mbah Putri:
“Bu, kita mampir ke toko sepatu Bata sebentar
ya?”
“Mau apa?” Tanya mbah Putri heran.
“Kita mau beliin sepatu buat ibu,” kata budhe
Wir.
Mbah putri diam sebentar, satu persatu
anaknya dipandangi, lalu tersenyum.
“Wis,
duite disimpen, mengko nggo jajan McDonald,” kata mbah Putri.
(Udah, uangnya disimpan dulu, nanti buat jajan McDonald)
(Udah, uangnya disimpan dulu, nanti buat jajan McDonald)
Ya sudah, akhirnya nggak jadi beli sepatu.
Selesai jalan-jalan, sampai dirumah, bu Ning, budhe Wir, budhe Warso, ceritera
pada bu Tien, kalau simbah nggak mau dibeliin sepatu Bata.
“Ha? Sepatu Bata? Hari gini?” Kata bu Tien.
“Emang kenapa?” Tanya bu Ning heran.
“Lha mbah Putri itu, sepatunya, sepuluh
pasang, yang paling murah mereknya Belly.”
Esok harinya. Pas mbak Sari mau ke Kota Tua,
Pak Pangkat ikut. Mbak Sari itu putrinya bude Warso, waktu itu ikut bu Tien,
kuliah sambil kerja di Bern.
Sampai di Kota Tua, selagi menunggu urusan
mbak Sari, pak Pangkat jalan-jalan sendiri. Tiba-tiba pak Pangkat terperangah,
sepertinya orang-orang yang jalan didepan pak Pangkat jalannya terseok-seok.
Ini yang unik, yang luput dari perhatian.
Nggak taunya, jalan di Kota Tua itu, terbuat dari susunan batu, peris jalan ndeso, terbuat dari batu kali ditata
jejer-jejer, diatasnya nggak pakai aspal, jadi ya mbrenjul-mbrenjul, tidak rata. Umumnya orang yang jalan diatas itu
seperti terseok-seok.
Jadi, sebetulnya kemarin itu bukan hanya mbah Putri
saja, tapi budhe Wir, budhe Warso, bu Ning dan pak Pangkat jalanya juga
terseok-seok (Emmber, itu namanya semut
diseberang laut nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar