Jumat, 07 Februari 2014

Daya dorong sebotol air mineral


Ini ceritera putra ke 7, anak bungsu dari keluarga Sastroatmodjo. Nama kebesarannya R. Agus Wahyu Santosa bin Amatrahman Sastroatmodjo. Ya betul titelnya pakai Raden (bersertifikat) sebab ia masih keturunan Mas Karebet alias Joko Tingkir, setelah jumeneng Noto bergelar Sultan Hadiwijaya yang istananya di Pajang. Tapi sejak kecil ia nggak mau pakai gelar R. Panggilan populernya dalam keluarga cukup pak Agus. Didalam lapangan pun namanya cukup populer. Dilapangan? Lha iya lah, dilapangan sepak bola, beliau memang praktisi sepak bola hingga sekarang. Kariernya dimulai dari pengamat bola, maksudnya penonton yang nggak kebagian tiket, nggak bisa mbludus, lalu nontonnya diatas pohon diluar setadion Sriwedari Solo, lama-lama terjun menjadi pemain bola lalu hijrah ke Bandung. Hingga sekarang pak Agus menetap tinggal di Kota Kembang. Pensiun dari main bola, pindah menjadi wasit. Melalui beberapa pelatihan ia berhak menyandang gelar Pelatih Bola. Diantara yang pernah dilatih PS. ITB, PS. CPM, Persib U.15 dan masih banyak lagi.
Malahan ketika Sir alex Ferguson pesiun melatih Machaster United, pak Agus ditawari menggantikan, tapi ditolak, sebab pak Agus tau, tak satupun pemain MU yang ngerti Bahasa Sunda.
“Ya melatihnya jangan pakai bahasa Sunda, pakai bahasa Ingris dong,” kata temanya memberi semangat.
“He he Abdi teh tetiasa bahasa Ingris.” Kata pak Agus njegeges.




Nah pak Agus ini, benar-benar prototipe pembawa gen Humaniora trah Satroatmajan. Hampir semua anggota keluarga besar trah Satroatmodjo, dari anak masih ingusan, hingga nenek-nenek tidak ada yang tidak kenal Pak Agus. Makanya ketika mudik lebaran, misalnya ngumpulnya di Nusukan, Solo, rumah Budhe Warso. Begitu dengar pak Agus datang, serta merta semua anak-anak kecil berhamburan lari menyongsong di mulut gang, pinggir jalan besar. Begitu pak Agus mendarat, maksudnya kakinya menjejak tanah, turun dari becak, suasana berubah menjadi meriah. Bagaikan pawai, anak-anak mengarak pak Agus hingga masuk Rumah (untung saja anak-anak nggak sambil nyanyi lagunya Benyamin. Nyok, kite ngarak ondel-ondel, yuuk).
Anekdot pak Agus, biar nanti ia sendiri yang nulis. Tapi saya mencukil sedikit, kisah Perjalanan pak Agus ke Bali, waktu mas Wisnu, putra Bu Ning, kawin di Denpasar.
Ceriteranya pak Agus naik Bis excecutive, Bandung-Denpasar. Dari rumah ia sengaja hanya makan sedikit. Ntar makan enak direstoran, ditengah perjalanan disetiap persinggahan bis, gumam pak Agus.
Tengah malam, bis sampai dipersinggahan pertama. Penumpang dipersilahkan turun, masuk ke restoran untuk dijamu makan malam. Tapi betapa kecewanya, makanan yang disajikan enggak enak. Tau sendiri, soal makan, kalau tidak ‘mak nyus’, pak Agus nggak selera. Sama dengan bude Wir, senang visata kuliner, hanya beda tipis. Bedanya, kalau bude Wir, dimana saja, kapana saja, ok saja. Tapi kalau pak Agus, dimana saja, kapan saja, tunggu dulu, maksudnya, tunggu ditraktir, atau tunggu gajian.
Sudah tengah malam, makanan nggak enak, langsung selera makan hilang, hidangannya hanya dicicipi sedikit, sialnya disekitar situ nggak ada restoran lain.
Bis berangkat lagi hingga di persinggahan ke dua, tengah malam berikutnya. Terjadi lagi, baru melihat penampilan masakan yang disajikan saja, seleranya sudah drop. Dari pada perut kosong, Pak Agus beli roti sobek, (bukan tak sobek-sobek, seperti omongannya Tukul Arwana) itu lho, satu roti tapi isinya macam-macam, ada straberry, coklat, nanas dan lain-lain. Pak Agus ambil yang ukuran paling besar, kira-kira cukup kenyang, sampai Denpasar. Ditambah satu botol air mineral, semua barang ditempatkan di tas kresek plastik.
Ceritera selanjutnya, bis berangkat lagi. Tak lama kemudian, Pak Agus mau makan roti, tapi perutnya belum juga berselera, jadi ditunda. “Ntar pagi saja,” gumam pak Agus, lalu ketiduran, sambil tangannya pegangan tas kresek (Stop! Jangan baca lanjutannya. Tapi bayangkan dulu, Pak Agus yang badanya gede, besar, tidur, sandaran kursi bis, kepalanya thengleng /menoleh ke kanan, sambil terkantuk-kantuk. Di sudut bibir ada genangan cairan, yang menunggu waktu untuk jatuh meleleh, menjadi iler. Kedua tangannya ditumpangkan diatas paha, sambil megangi tas kresek kecil, warna hitam lagi).
Pagi hari pak Agus bangun, saatnya mau sarapan. Ketika dilihat tas kreseknya, lho kok yang dipegangi cuma botol air, rotinya mana? Jatuh kali. Lalu Pak Agus nyari dikolong bawah kursinya, nggak ada. Di gang atau jalan untuk orang lewat samping kursi, juga nggak ada (mungkin kalau nggak malu sama Mr. Bean, pak Agus mbrangkang nyari roti disetiap kolong bawah kursi penumpang dari depan hingga belakang).
Kesimpulan pak Agus, rotinya hilang. Kalau bisnya dibersihin, rotinya ikut tersapu ya nggak mungkin, lha wong bisnya jalan terus, pasti ada yang ngambil, lha tapi siapa?
Haruskah pak Agus berdiri diatas kursi lalu teriak: “Eh, sapa sing njupuk rotiku?”
Oh tidak bisa, karena penumpang bis semua dari Bandung, pak Agus harus teriak pakai bahasa Sunda: “Oi, Saha, nyokot roti abdi?”
(Mungkin yang ngambil rotinya pak Agus dengar, tapi diam saja, sambil bilang dalam hati, Orang rotinya sudah aku ‘cokot’ kok dicari).
Untung pak Agus sadar dan sabar, yah sudahlah kan masih ada sebotol air mineral, apapun yang akan terjadi, terjadilah.
Lha yang terjadi, perut kosong didorong air sebotol, walaupun air mineral, ya tetap saja kembung. Al hasil, masuk angin berkepanjangan sampai beberapa hari, hingga hari upacara perkawinan dimulai.
Hari itu, semua saudara yang datang dari Jawa, didandani busana seragam adat Bali, semua semerbak mewangi bau parfum, kecuali pak Agus, baunya aroma terapi campuran: remason, vicks, PPO, balsem cap macan, minyak angin cap lang, minyak angin cap kapak, minyak oles, minyak sereh, minyak tawon, minyak telon trisnojoyo dan minyak kayu putih (asli lho).

Daya dorong angin dari bawah
Ingat daya dorong air, Pak pangkat, ingat daya dorong angin. Ceriternya ketika itu Pak Drajat dan Bu Drajat yang dikalangan keluarga lebih populer dipanggil Bu Lis, punya hajat mengawinkan Putra pertama yang bernama mas Juju. Lha tetapi pestanya di Gorontalo. Pesta adat, tujuh hari tujuh malam, meriah penuh humor, dan unik. Coba bayangkan, Pas hari H. Malam hari, gedung yang akan digunakan resepsi kebanjiran, hanya bilangan jam, resepsi dipindah ke gedung lain. Bagaimana kisah yang heboh selanjutnya, biar pak Drajat nanti yang ceritera. Disini hanya mencukil ceritera sedikit, ketika dalam pesawat, penerbangan Jakarta-Gorontalo.
Di deretan tiga kursi, yang duduk, Pak Pangkat, Pak Drajat dan Pakdhe So (kakak bu Lis).
“Saya mau ke Toilet. Cara nyentor air nanti gimana?” tanya pakdhe So pada pak Pangkat.
“Ya biasa, seperti di toilet umum, ada kran air. Hanya krannya berupa tombol-tombol,” jawab pak Pangkat.
“Tapi hati hati, kalau salah mencet tombol, bukan air yang keluar, tetapi angin kencang nyemprot dari bawah,” Pak Drajat nyambung.
Pakdhe So diam. Yang tadinya badan ditegakkan, mau berdiri, kembali duduk, malah punggungnya disandarkan lagi ke kursi.
“Sudah sana, pergi ke Toilet,” kata Pak Pangkat.
“Nggak ah, nggak jadi ke Toilet,” jawab pakdhe So.
“Jangan suka nahan buang air kecil, nanti bisa gagal ginjal,” kata pak Drajat.
“Saya takut. Nanti, kalau pas saya buang air kecil, saya salah mencet tombol, ada angin kecang dari bawah, mak wuus, lha kan burung saya ilang,” kata pakde So.

Mau tau profesi pakdhe So?
Beliau adalah seorang Budayawan, Seniman dan Dalang.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar