Senin, 03 Februari 2014

Anjing Herder



Kali ini ceritera perihal mbakyu Almahrumah Sri Amiyati, putri nomer satu keluarga Sastroatmodjo. tetapi lebih populer disebut budhe Warso, maksudnya istri almahrum pakdhe Suwarso.
Ketika itu mbah Putri sedang berdomisili di Bern, Swiss, nungguin mbakyu Siti Partinah, putri ke tiga keluarga Sastroatmodjo, yang lebih populer dipanggil Bu Tien, yang sedang tugas di KBRI (Kedutaan Besar RI) di Bern.
Menjelang ulang tahun mbah Putri, Bulan Maret 1992. Bu Tin ingin membuat kejutan, biar mbah Putri senang, diam-diam Bu Tien mengundang saudara sekandung untuk datang ke Bern. Tapi karena banyak yang tidak bisa meninggalkan tugas pekerjaan, maka yang berangkat, hanya budhe Warso, budhe Wir (Pakdhe Wir menyusul belakangan), Pak Pangkat dan Bu Ning. Bu Ning nama lengkapnya Siti Ningsih putri ke 6 keluarga Sasrtoatmodjo. Suami bu Ning bernama Cokorderake, oleh karena itu diluar keluarga, atau di Bali, lebih dikenal dengan nama bu Rake.
Karena ingin cari ongkos ke Swis yang murah, akhirnya mereka naik pesawat perusahaan penerbangan Ceko, konsekwensinya harus transit di Praha, ibukota Ceko. Praha itu letaknya di utara Jerman, sedangkan Swis disebelah Selatan Jerman. Lha, kan balik lagi ke selatan melewati Jerman. Bisa dibayangkan berapa jam penerbang yang harus ditempuh. Bagi orang lain, terlalu lama dalam penerbangan membuat jenuh. Sebaliknya bagi mereka nggak masalah, perjalanan kali ini seperti petualangan mengikuti tour keliling dunia, jam terbang lama, malah cucuk, bayar murah, singgah dibeberapa Negara, bisa merasakan penerbangan malam dan siang sekaligus. Sepanjang penerbangan Jakarta-Praha, mereka isi dengan obrolan dan tentu saja diselingi ngrasani saudara apa tetangga atau teman, tentu saja dengan suara pelan bahkan kadang berbisik, takut mengganggu penumpang lain, tetapi tak urung sekali-sekali kelepasan tertawa juga. Behavior ini, kayaknya sudah menjadi kebiasaan anggota keluarga Sastroatmodjo. Jika sedang ngumpul, mereka menggelar karpet atau tikar, lalu ngegosip sambil tidur-tiduran. Kalau ada yang sudah mak ler, mau tidur, mendengar saudara lain tertawa, bangun lagi, ikut tertawa malahan nyambung gosipnya. Wal hasil bisa begadang semalam suntuk. Tapi berani jamin, kalau mereka ngrasani tentu hal-hal yang baik, kecuali tidak sengaja (kayaknya sih, banyak tidak sengajanya).
Satu lagi, selama dalam penerbangan Jakarta Praha, ada yang menyenangkan, baik bagi mereka maupun bagi Pramugari. Masalahnya mereka tidak pernah nampik, jika ditawari apa saja (yang penting gratis). Apalagi kalau pas pembagian roti plenuk, mereka selalu minta tambah. Baru dibagi, satu satu, budhe Wir sudah nyletuk: “Once more, please.”
Sure, sure,” kata Pramugari sambil tersenyum, lalu dibagi lagi satu satu. Selesai membagi semua penumpang, ketika Pramugari balik, lewat rombongan, giliran pak Pangkat nyletuk:
My I have....” baru ngomong begitu, Pramugari sudah tanggap.
Sure, sure,” kata Pramugari sambil tersenyum, lalu dibagi lagi, satu-satu. Uniknya habis mbagi roti Pramugarinya nggak pergi, malah mengerling pada bu Ning sambil nyletuk:
"How about you madam?"
Sambil nyengir bu Ning njawab: "If you dont main," dan meledaklah tawa Pramugari itu, dan kami pun ikut riuh.
Tadinya Pramugari heran, kok selalu minta tambah, tapi lama-lama ketahuan. Itu lho, Bu Ning, asal ada pembagian roti, begitu diterima langsung semua dimasukkan kedalam tas.
“Pengiritan, nanti kalau jalan-jalan di Eropa nggak usah jajan,” bisik bu Ning.
(Ini kayaknya juga karakter hampir semua anggota keluarga Sastroatmodjo. Lihat saja hampir semua ibu-ibu kemana-mana bawaannya tas besar).
Anehnya, Pramugarinya tidak marah, malah senang. Mungkin mereka jenuh dalam penerbangan, begitu melihat tingkah laku lucu-lucu rombongan orang tua imut-imut, Pramugari-pramugari seperti mendapat hiburan. Tapi kita juga ikut senang, dapat pelayanan istimewa, sering didatangi, ditawari makanan atau minuman.
Dikatakan rombongan orang tua imut-imut, sebab dalam satu pesawat jumbo itu, hanya mereka berempat orang Asia kebetulan tubuhnya kate, penumpang lainya orang bule, apalagi orang Eropa Timur, tubuhnya rata-rata gedhe dhuwur.
Rupanya ada seorang wanita Ceko, penumpang satu pesawat, diam-diam memperhatikan rombongan orang tua imut-imut yang selalu ceria dalam perjalanan, nggak terlihat lesu atau kecapaian seperti penumpang lainnya. Waktu sampai Praha, masih dalam bus yang mengangakut dari pesawat ke Bandara, wanita itu ngomong pakai bahasa Inggris:
“Saya memperhatikan kalian sejak dari Bangkok. Apakah kalian ini semua bersaudara?”
“Oh iya Madem, kami kakak beradik sekandung, dari ibu dan bapak yang sama.” Jawab pak Pangkat.
“Saya sudah menduga. Tetapi saya heran, kalian bisa riang, bercanda sangat kompak.”
“Ya, itu kebiasaan kami, kalau bepergian dengan rombongan satu keluarga.”
“Ya itu yang saya heran. Biasanya, rombongan keluarga, agak formil, tidak semeriah yang kalian lakukan. Umumnya suasana ceria seperti itu hanya terlihat, pada rombongan anak sekolah yang sedang melakukan study tour atau sedang picnic.”
Alamak, dikira rombongan anak TK sedang darmawisata, please deh.

Sampai di terminal, mereka harus menunggu pesawat yang akan mengangkut ke Swiss, sekitar 4 jam lagi. Mereka tak bisa keluar Bandara, karena tidak punya visa Coko, lagi pula situasi di Praha seperti sedang siaga. Waktu itu Cekoslovakia baru saja pecah menjadi dua negara, Ceko dan Slovakia, masing-masing berdiri menjadi negara sendiri. Jadi suasananya tegang, seperti sedang perang, dimana-mana banyak tentara, sesekali diluar Bandara terlihat konvoi panser lewat. Suasana semakin mencekam, ketika tak jauh, didepan rombongan, ada orang ditangkap Polisi, Tentara atau Satpam bandara, mereka nggak bisa mbedain seragamnya. Mereka juga nggak tau, apa yang ditangkap itu teroris, apa musuh yang menyelundup, lha wong orang-orang itu ngomongnya pakai bahasa Ceko. Bertepatan itu datang satu regu tentara, diantara mereka ada yang membawa anjing herder. Tiba-tiba bude Warso ngewel (geneteran), ketakutan.
Aduh, Kat, asune ojo oleh cedak-cedak aku,” kata bude Warso, pada pak Pangkat.
(Aduh Kat, anjingnya jangan boleh dekat-dekat dengan aku.
“Nggak, nggak mendekat kesini kok, nggak apa-apa,” kata Pak Pangkat.
Ndilalah yang membawa anjing memang mondar mandir, wira wiri di sekitar rombongan orang tua imut-imut yang sedang bergerombol.
Pas yang bawa anjing lewat dekat bude Warso, bude Warso tambah panik, buru-buru berlindung dibelakang pak Pangkat.
Kat, iku lho asune, aku wedhi tenan,” kata bude gemeteran.
(Kat itu lho anjingnya, aku bener-bener takut).
“Nggak apa-apa. Kan ada yang megangi, jangan takut,” kata pak Pangkat.
Ora wedhi piye? Iki lho tasku,” kata bude Warso sambil tambah erat memeluk tasnya.
(Nggak takut gimana? ini lho tasku).
“Emang kenapa?” pak Pangkat heran.
“ Aku nggowo  t r a s i.”
(saya bawa trasi)

Rupanya bude Warso, bawa oleh-oleh trasi. Katanya di Eropa nggak ada trasi. Takut kalau anjingnya mengendus tasnya bude, bau trasi, terus menggongong, wah jadi urusan besar. Tidak hanya itu, ternyata bude Warso juga bawa pete banyak. Untung petenya dimasukkan bagasi, coba kalau dibawa dalam tas njinjing, bisa-bisa bude Warso ditahan dikira mau mbajak pesawat, soalnya ketika tasnya lewat Xray biji-biji pete terlihat seperti rentetan peluru kaliber 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar