Senin, 03 Februari 2014

Jeneng Tuwo



“Siapa yang bernama Sastro, angkat tangan!” begitu teriak seorang pada sebuah ilustrasi disebuah pertemuan, atau kerumunan massa atau tempat semacam itu di Solo.
Kemungkinan tidak hanya satu orang tapi lebih, bahkan mungkin belasan malahan puluhan hadirin serta merta mengangkat tangan.
Kenapa di Solo banyak orang bernama Sastro? Jumlahnya ribuan malah mungkin ratus ribu.
Dahulu di Solo, Yogya khususnya dan Jawa pada umumnya, setiap pasangan yang menikah lalu membangun rumah tangga sendiri, namanya sering diganti atau ditambah nama baru, istilahnya diberi Jeneng Tuwo arti harafiahnya ‘nama tua’ mungkin tafsirnya ‘nama keluarga’ dengan harapan setelah membangun rumah tangga menjadilah sebuah keluarga yang eksist. Boleh jadi Jeneng tuwo itu padanan dengan nama Dinasti.
Salah satu Jeneng tuwo yang paling banyak dipakai orang adalah Sastro. Misalnya, Paijo setelah menikah diberi Jeneng tuwo Sastrodimedjo, maka selanjutnya ia dikenal dengan nama Paijo Sastrodimeja. Lama kelamaan nama aslinya, Paijo, terkubur, orang lebih mengenal ia namanya Sastrodimedjo, dan selanjutnya ia hanya dipanggil pak Sastro atau mas Sastro saja. Dan itu tidak dilakukan hanya pada satu orang tapi banyak orang, hingga tak heran jika kita panggil, Sastro, maka yang unjuk tangan banyak.
Yang unik, pemberian Jeneng tuwo, Sastrodimedjo tidak untuk satu orang, melainkan banyak orang, meskipun tak ada pertalian saudara. Untuk membedakan Sastrodimedjo satu dengan yang lainnya, orang sering mengganti nama belakangnya (Dimedjo) dengan mengindetikkan ciri fisik, atau profesi si empunya nama, misalnya: Sastro-dhengkek, Sastro yang badannya bungkuk, Sastro-peyang, Sastro yang kepalanya peyang (unsimetris), Sastro-jamu, Sastro yang jualan jamu dan lain semacam itu.
Secara umum, nama Sastro (nama depan Jeneng Tuwo) menjadi pertanda si empunya nama, orang yang sudah berumah tangga. Tidak ada bayi, anak atau remaja yang diberi nama Sastro (kecuali Dian Sastro:D).
Selain nama Sastro sebagai nama depan Jeneng Tuwo yang paling banyak digunakan amtara lain:
Wiryo, Karto, Marto, Joyo, Darmo, Guno dan lain semacam itu.

Lain zaman dulu, lain pula zaman sekarang.
Sepertinya masa kini, budaya memberi Jeneng Tuwo, sudah luntur malahan mungkin sudah punah. Alasannya sederana dan bisa dipahami. Sekarang, orang merubah nama, memberi tambahan nama, urusannya rumit, tidak cukup ke RT/RW Kelurahan, Kecamatan, bahkan sampai ke pengadilan dan imigrasi dan pastinya setiap pos itu keluar duit.
Bedanya, zaman dulu merubah nama, memberi tambahan Jeneng Tuwo, cukup membuat bancakan (semacam kenduri, membuat tumpeng, kecil-kecilan), yang paling sederhana cukup membuat jenang abang putih (bubur merah putih), panggil tetangga, sambil membagi bancakan sambil sosialisasi, perubahan atau penambahan nama.


 Rukun agawe santosa

Biografi tokoh setral dari blog ini, nama aslinya Amatrachman bin Amatsyarif, setelah menikah dengan Sumami, salah satu putri dari Dinasti Satro Taruno, dianugerahi Jeneng Tuwo Sastroatmodjo, selanjutnya dikenal dengan nama resmi, Amatrachman Sastroatmodjo.
Dalam perjalanan masa, keluarga Amatrachman Sastroatmodjo, eksit menjadi sebuah dinasti, yang kini lebih populer dipanggil keluarga besar trah Sastroatmodjo, yang sekarang telah melahirkan generasi ke 4 (canggah).
Semenjak lahirnya generasi ke 2, Bapak dan Ibu Sastroatmojo dikalangn intern lebih populer di panggil mbah Kakung dan Mbah Putri.


Sebelum mbah Kakung (Bpk Amatrachman Sastroatmodjo) wafat, kebetulan hampir semua anak dan menantu berkumpul mengitari tempat tidur dimana mbah Kakung sedang berbaring, kerena sakit hampir sebulan lamanya. Tiba-tiba mbah Kakung memerintahkan semua yang ada disitu memegang kedua tangan beliau, kemudian beliau menaikkan tangan mereka, sampai 3 X sambil mengucap:” rukun...rukun...rukun.” Itulah wasiat beliau yang terakhir, sebelum beliu berpulang ke Rochmatulloh.
Kata rukun itulah yang dijadikan warisan mbah Kakung yang paling berharga, bagi putra-putranya. Oleh karena itu putro putri dan menantu-menantunya membuat ikrar, selalu menjaga kerukuan diatara mereka, saling tolong menolong, saling sayang menyayangi jangan ada cecok, dusta dan fitnah diantara mereka.
Warisan rukun itu diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya hingga menjadikan Trah Sastroatmodjo menjadi sebuah dinasti yang solid.
Jika ada permasalahan, keluarga besar trah Sastroatmodejo selalu mengadakan pertemuan, mencari mufakat dalam permusyawarahan, dan umumnya segala masalah terselesaikan dengan tawa dan canda.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar