“Siapa yang bernama Sastro, angkat tangan!” begitu teriak seorang pada sebuah ilustrasi disebuah pertemuan, atau kerumunan massa atau tempat semacam itu di Solo.
Kemungkinan tidak hanya satu orang tapi
lebih, bahkan mungkin belasan malahan puluhan hadirin serta merta mengangkat
tangan.
Kenapa di Solo banyak orang bernama Sastro?
Jumlahnya ribuan malah mungkin ratus ribu.
Dahulu di Solo, Yogya khususnya dan Jawa pada
umumnya, setiap pasangan yang menikah lalu membangun rumah tangga sendiri, namanya
sering diganti atau ditambah nama baru, istilahnya diberi Jeneng Tuwo arti harafiahnya ‘nama tua’ mungkin tafsirnya ‘nama
keluarga’ dengan harapan setelah membangun rumah tangga menjadilah sebuah
keluarga yang eksist. Boleh jadi Jeneng
tuwo itu padanan dengan nama Dinasti.
Salah satu Jeneng tuwo yang paling banyak dipakai orang adalah Sastro. Misalnya,
Paijo setelah menikah diberi Jeneng tuwo
Sastrodimedjo, maka selanjutnya ia dikenal dengan nama Paijo Sastrodimeja. Lama
kelamaan nama aslinya, Paijo, terkubur, orang lebih mengenal ia namanya
Sastrodimedjo, dan selanjutnya ia hanya dipanggil pak Sastro atau mas Sastro
saja. Dan itu tidak dilakukan hanya pada satu orang tapi banyak orang, hingga
tak heran jika kita panggil, Sastro, maka yang unjuk tangan banyak.
Yang unik, pemberian Jeneng tuwo, Sastrodimedjo tidak untuk satu orang, melainkan banyak
orang, meskipun tak ada pertalian saudara. Untuk membedakan Sastrodimedjo satu
dengan yang lainnya, orang sering mengganti nama belakangnya (Dimedjo) dengan
mengindetikkan ciri fisik, atau profesi si empunya nama, misalnya:
Sastro-dhengkek, Sastro yang badannya bungkuk, Sastro-peyang, Sastro yang
kepalanya peyang (unsimetris), Sastro-jamu, Sastro yang jualan jamu dan lain
semacam itu.
Secara umum, nama Sastro (nama depan Jeneng Tuwo) menjadi pertanda si empunya
nama, orang yang sudah berumah tangga. Tidak ada bayi, anak atau remaja yang
diberi nama Sastro (kecuali Dian Sastro:D).
Selain nama Sastro sebagai nama depan Jeneng Tuwo yang paling banyak digunakan
amtara lain:
Wiryo, Karto, Marto, Joyo, Darmo, Guno dan
lain semacam itu.
Lain zaman dulu, lain pula zaman sekarang.
Sepertinya masa kini, budaya memberi Jeneng Tuwo, sudah luntur malahan
mungkin sudah punah. Alasannya sederana dan bisa dipahami. Sekarang, orang
merubah nama, memberi tambahan nama, urusannya rumit, tidak cukup ke RT/RW Kelurahan,
Kecamatan, bahkan sampai ke pengadilan dan imigrasi dan pastinya setiap pos itu
keluar duit.
Bedanya, zaman dulu merubah nama, memberi
tambahan Jeneng Tuwo, cukup membuat
bancakan (semacam kenduri, membuat tumpeng, kecil-kecilan), yang paling sederhana cukup membuat jenang abang putih (bubur merah putih), panggil tetangga, sambil membagi bancakan sambil
sosialisasi, perubahan atau penambahan nama.
Rukun agawe santosa
Biografi tokoh setral dari blog ini, nama aslinya Amatrachman bin Amatsyarif, setelah menikah dengan Sumami, salah satu putri dari Dinasti Satro Taruno, dianugerahi Jeneng Tuwo Sastroatmodjo, selanjutnya dikenal dengan nama resmi, Amatrachman Sastroatmodjo.
Biografi tokoh setral dari blog ini, nama aslinya Amatrachman bin Amatsyarif, setelah menikah dengan Sumami, salah satu putri dari Dinasti Satro Taruno, dianugerahi Jeneng Tuwo Sastroatmodjo, selanjutnya dikenal dengan nama resmi, Amatrachman Sastroatmodjo.
Dalam perjalanan masa, keluarga Amatrachman
Sastroatmodjo, eksit menjadi sebuah dinasti, yang kini lebih populer dipanggil
keluarga besar trah Sastroatmodjo, yang sekarang telah melahirkan generasi ke 4
(canggah).
Semenjak lahirnya generasi ke 2, Bapak dan Ibu
Sastroatmojo dikalangn intern lebih populer di panggil mbah Kakung dan Mbah
Putri.
Kata rukun itulah yang dijadikan warisan mbah
Kakung yang paling berharga, bagi putra-putranya. Oleh karena itu putro putri
dan menantu-menantunya membuat ikrar, selalu menjaga kerukuan diatara mereka, saling
tolong menolong, saling sayang menyayangi jangan ada cecok, dusta dan fitnah
diantara mereka.
Warisan rukun itu diturunkan dari generasi ke
generasi berikutnya hingga menjadikan Trah Sastroatmodjo menjadi sebuah dinasti
yang solid.
Jika ada permasalahan, keluarga besar trah
Sastroatmodejo selalu mengadakan pertemuan, mencari mufakat dalam permusyawarahan,
dan umumnya segala masalah terselesaikan dengan tawa dan canda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar